Minggu, 29 Juni 2008

Probematika Operasionaliasi BMT

BMT (Baitul Maal Wa Tamwil) merupakan salah satu model lembaga keuangan syariah paling sederhana yang saat ini banyak muncul dan tenggelam di Indonesia. Keberadaan BMT dengan jumlah yang signifikan pada beberapa daerah di Indonesia tidak didukung oleh faktor-faktor pendukung yang memungkinkan BMT untuk terus berkembang dan berjalan dengan baik. Fakta yang ada di lapangan menunjukkan banyak BMT yang tenggelam dan bubar.
Beberapa data menunjukkan di daerah-daerah tertentu keberadaan BMT cukup memperihatinkan. Seperti di Kabupaten Ciamis pada tahun 2000 jumlah BMT mencapai 42 buah. Namun, sekarang yang tersisa hanya tujuh buah. Di daerah Tasikmalaya yang pernah mencapai 50 buah lebih, kini BMT tersisa 12 buah. Jumlah sebanyak 12 BMT yang masih ada yaitu di Kabupaten Tasikmalaya lima buah dan Kota Tasikmalaya tujuh buah. Begitu juga di Kabupaten Garut dan Sumedang, kondisinya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Tasikmalaya atau Ciamis. Hal serupa juga terjadi di kota Bandung, keberadaan BMT sebagai badan penunjang dana bagi masyarakat ekonomi lemah terancam bangkrut. Dari 32 BMT MUI, kini jumlahnya makin menciut tinggal 8 BMT saja yang masih beroperasi. Bahkan, BMT yang memiliki aset sekitar Rp 1,3 miliar itu juga menghadapi masalah kredit macet (www.pikiran-rakyat.com). Ditambah lagi dengan pernyataan Pusat Inkubasi Usaha Kecil (Pinbuk) bahwa BMT pada akhir 1997 berjumlah 1.501 buah mengalami perkembangan yang tidak terlalu bagus, bahkan ada BMT yang kemudian tumbang, gagal, rugi kemudian mati (http://www.msi-uii.net/).
Dengan melihat fenomena di atas perkembangan BMT dipandang belum sepenuhnya mampu menjawab problem real ekonomi yang ada di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, belum memadainya sumber daya manusia yang terdidik dan profesional, menyangkut manajemen sumber daya manusia dan pengembangan budaya serta jiwa wirausaha (entrepreneurship) bangsa kita yang masih lemah, permodalan (dana) yang relatif kecil dan terbatas, adanya ambivalensi antara konsep syariah pengelolaan BMT dengan operasionalisasi di lapangan, tingkat kepercayaan yang masih rendah dari umat Islam dan secara akademik belum terumuskan dengan sempurna untuk mengembangkan lembaga keuangan syariah dengan cara sistematis dan proporsional. Kompleksitas persoalan tersebut menimbulkan dampak terhadap kepercayaan masyarakat tentang keberadaan BMT diantara lembaga keuangan konvensional.
Padahal bila dilihat dari latar belakang berdirinya, BMT merupakan jawaban terhadap tuntutan dan kebutuhan kalangan umat Muslim. Kehadiran BMT muncul di saat umat Islam mengharapkan adanya lembaga keuangan yeng berbasis syariah dan bebas dari unsur riba yang dinyatakan haram. Eksistaensi lembaga keuangan syariah sejenis BMT, jelas memiliki arti penting bagi pembangunan ekonomi berwawasan syariah terutama dalam memberikan solusi bagi pemberdayaan usaha kecil dan menengah serta menjadi inti kekuatan ekonomi yang berbasis kerakyatan dan sekaligus menjadi penyangga utama sistem perekonomian nasional. Hal ini menunjukkan peranan BMT sangat berarti bagi masyarakat karena BMT merupakan suatu lembaga mikro syariah yang mampu memecahkan permasalahan fundamental yang dihadapi oleh pengusaha kecil dan menengah khususnya di bidang permodalan. BMT tidak hanya befungsi dalam penyaluran modal tetapi juga berfungsi untuk menangani kegiatan sosial.
Dilihat secara konsepsi, BMT merupakan suatu lembaga yang eksistensinya sangat dibutuhkan masyarakat terutama kalangan mikro. Akan tetapi di sisi lain yaitu dalam bidang operasionalya masih memiliki banyak kelemahan. Maka problematika tersebut harus dapat diatasi dengan baik agar mampu mewujudkan terciptanya citra positif bagi BMT sebagai lenbaga keuangan mikro syariah yang bersih serta dipercaya oleh masyarakat. Suatu BMT tetap harus memenuhi kriteria-kriteria layaknya sebuah bank syariah besar dengan beribu-ribu nasabahnya. Salah satu alasan sederhana adalah sebuah lembaga yang mengelola uang masyarakat, tentunya harus kredibel, dapat dipercaya oleh masyarakat. Siapapun pasti ingin dirinya diyakinkan bahwa uang yang dia simpan di suatu BMT aman dari resiko apapun dan setiap saat dapat mengambil uangnya kembali. 1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaiamana kritik dan solusi terhadap problemaika dan operasionalisasi BMT?

Agar pembahasan dapat fokus dan mencapai apa yang diharapkan, maka penulis membatasi permasalahan hanya pada probematika operasionaliasi BMT serta solusi untuk mengatasi permasalahan itu.
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu cara dalam mengatasi kendala-kendala pengembangan BMT sebagai lembaga keuangan mikro yang bebas bunga pinjaman dan efektif dalam memberdayakan potensi usaha kecil dan menengah yang pada umumnya kesulitan mengakses jasa lembaga keuangan formal (perbankan).
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:
1. Mengetahui problematika operasionalisasi BMT berdasarkan fakta yang ada.
2. Mengetahui solusi dalam memecahkan problematika operasionalisasi BMT.
Konsep Lembaga Keuangan Syariah
Lembaga keuangan syariah merupakan lembaga keuangan yang bekerja menurut konsep syariah dengan prinsip profit lost sharing sebagai metode utama.
Struktur lembaga keuangan syariah dikelompokkan menjadi bank umum syariah, BPR syariah, asuransi syariah dan Baitul mal wa tamwil (BMT). Adapun yang disebutkan diatas mempunyai produk dan pangsa pasar yang berbeda. Namun dari segi prinsip dan instrumen yang digunakan lembaga keuangan syariah yang telah disebutkan di atas tidak mempunyai perbedaan yang cukup mendasar hanya pada sekup wilayah operasionalnya saja.
Prinsip keuangan syariah memiliki aplikasi yang luas dalam suatu sitem perekonomian yang tidak hanya terfokus dalam sistem bagi hasil (profit sharing), tetapi juga secara sempurna menanamkan suatu kode etik (moral, sosial dan agama) dalam mempromosikan suatu keadilan dan kesejahtern bagi masyarakat luas. Tidak ada perbedaan prinsip diantara lembaga-lembaga keuangan syariah (Asuransi, Bank dan BMT ), karena secara umum lembaga-lembaga ini mengutamakan hubungan kemitraan (mutual investor relationship) yang berbasis utama skim bagi hasil.
Secara sederhana prinsip-prinsip lembaga keuangan syariah dalam menjalankan usahanya terdiri atas :
1. Pelarangan terhadap (suku bunga)
2. Karena dilarangnya sistem bunga, maka penyedia dana menjadi investor. Sehingga terdapat faktor uncertainty dalam bisnis maka Penyedia dana dan pengusaha harus membagi resiko bisnis dan juga tingkat pengembalian yang disepakati.
3. Uang bukan sebagai modal tetapi akan menjadi modal jika sudah dipindahtangankan / tukar dengan sumberdaya untuk melaksanakan aktivitas yang produktif sehingga uang disini diartikan sebagai konsep yang mengalir ( flow concept ).
4. Pelarangan terhadap perilaku spekulasi (Nursali dkk : 2004).
5. Prinsip ta’awun (tolong-menolong) yaitu prinsip saling membantu sesama dalam meningkatkan taraf hidup melalui mekanisme kerja sama ekonomi dan bisnis.
6. Prinsip tijaroh (bisnis) yaitu prinsip mencari laba dengan cara yang dibenarkan oleh syariah. Lembaga keuangan Islam harus dikelola secara profesioanal, sehingga dapat mencapai prinsip efektif dan efisien (Ridwan, 2004:115).
7. Disamping sebagai lembaga bisnis, lembaga keuangan syariah juga menjalankan fungsi sebagai lembaga sosial.
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah
Konsep Dasar Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) berasal dari dua kata yaitu Baitul Maal yang artinya lembaga keuangan berorientasi sosial keagamaan yang kegiatan utamanya menampung serta menyalurkan harta masyarakat yang berupa zakat, infaq dan sedekah (ZIS) berdasarkan ketentuan yang ditetapkan Al-Qur’an dan Sunnah Rosul-Nya. Sedangkan Baitul Tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan (simpanan) maupun deposito dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah melalui mekanisme yang lazim dalam dunia perbankan (Ilmi, 2002:65). Sehingga secara konsepsi BMT adalah suatu lembaga yang didalamnya mencakup dua jenis kegiatan sekaligus yaitu:
1) Kegiatan mengumpulkan dana dari berbagai sumber seperti: zakat, infaq dan shodaqoh serta lainya yang dibagikan/disalurkan kepada yang berhak dalam rangka mengatasi kemiskinan.
2) Kegiatan produktif dalam rangka nilai tambah baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang bersumber daya manusia. (Muhammad, 2000:106).
Sedangkan menurut Widodo dkk (1999:81) BMT merupakan lembaga yang terdiri atas dua kegiatan sekaligus, yaitu Baitul Maal dan Baitul Tamwil. Kegiatan baitul Maal dalam BMT adalah lembaga keuangan yang kegiatannya mengelolah dana yang bersifat nirlaba (sosial). Sumber dana diperoleh dari zakat, infaq dan sedekah, atau sumber lain yang halal. Kemudian, dana tersebut disalurkan kepada mustahik, yang berhak, atau untuk kebaikan. Sedangkan kegiatan Baitul Tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatannya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dan bersifat profit motive. Penghimpunan dana diperoleh melalui simpanan pihak ketiga dan penyalurannya dilakukan dalam bentuk pembiayaan atau investasi, yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’at.
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan kelompok swadaya masyarakat sebagai lembaga ekonomi rakyat yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dengan berdasar prinsip syariah untuk meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha kecil dalam upaya pengentasan kemiskinan ( saifudin A.Rasyid, http: \\ http://www.bmtlink.web.id/).
Berdasarkan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) adalah Suatu lembaga keuangan mikro syariah yang menggabungkan unsur profit motive dan unsur nirlaba (sosial) dalam kegiatan usahanya yang dijalankan sesuai dengan ketentuan syariah.
Sifat Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
BMT bersifat usaha bisnis, mandiri ditumbuhkembangkan secara swadaya dan dikelolah secara profesional. Aspek Baitul Maal, dikembangkan untuk kesejahteraan anggota terutama dengan penggalangan dana ZISWA (zakat, infaq, sedekah, waqaf dll) seiring dengan penguatan kelembagaan BMT.
Sifat usaha BMT yang berorientasi pada bisnis dimaksudkan supaya pengelolaan BMT dapat dijalankan secara profesional, sehingga mencapai tingkat efisiensi tertinggi. Aspek bisnis BMT menjadi kunci sukses mengembangkan BMT. Dari sinilah BMT akan mampu memberikan bagi hasil yang kompetitif kepada deposannya serta mampu meningkatkan kesejahteraan para pengelolahnya sejajar dengan lembaga lainnya.
Sedangkan aspek sosial BMT berorientasi pada peningkatan kehidupan anggota dan masyarakat sekitar yang membutuhka (Ridwan, 2004:129).

Prinsip Utama Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Teori pelaksanaan usaha BMT berpegang teguh pada prinsip utama sebagai berikut :
1. keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan mengimplementasikan pada prinsip-prinsip syari’ah dan muamalah islam ke dalam kehidupan nyata.
2. keterpaduan, yakni nilai-nilai spritual dan moral menggerakkan etika bisnis yang dinamis, proaktif, progresif, adil dan berakhlaq mulia.
3. Kekeluargaan, yakni mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Semua pengelolah pada setiap tingkatan, pengurus dengan semua lininya serta anggota, dibangun rasa kekeluargaan, sehingga akan tumbuh rasa saling melindungi dan menanggung.
4. Kebersamaan, yakni kesatuan pola pikir, sikap dan cita-cita antar semua elemen BMT. Antara pengelolah dan pengurus harus memiliki satu visi dan bersama-sama anggota untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial.
5. Kemandirian, yakni mandiri di atas semua golongan politik. Mandiri juga berarti tidak tergantung dengan dana-dana pinjaman dan ”bantuan” tetapi senantiasa proaktif menggalang dana masyarakat sebanyak-banyaknya.
6. Profesionalisme, yakni semangat kerja yang tinggi, yakni dilandasi dengan dasar keimanan. Kerja yang tidak hanya berorientasi pada kehidupan dunia saja, tetapi juga kenikmatan dan kepuasan ruhani dan akhirat. Kerja keras dan cerdas yang dilandasi dengan bekal pengetahuan yang cukup, keterampilan yang terus ditingkatkan serta niat dan ghirah yang kuat. Semua itu dikenal dengan kecerdasan emosional, spritual dan intelektual. Sikap profesionalisme dibangun dengan semangat untuk terus belajar demi mencapai tingkat standar kerja yang tertinggi.
7. Istiqomah, konsisten, konsekuen, kontinuitas/berkelanjutan tanpa henti dan tanpa pernah putus asa. Setelah mencapai suatu tahap, maka maju lagi ke tahap berikutnya dan hanya kepada Allah SWT kita berharap (Ridwan, 2004:130).
Teori Operasionaliasi BMT
Kegiatan yang dikembangkan BMT adalah:
1. Menggalang dan menghimpun dana yang dipergunakan untuk membiayai usaha-usaha anggotanya. Sumber dana BMT terdiri dari dana masyarakat, simpanan biasa, simpanan berjangka atau deposito dan melalui kerjasama dengan lembaga lain. Para pemyimpan akan memperoleh bagi hasil dengan mekanisme yang sudah diatur dalam BMT.
2. Menberikan pembiayaan kepada anggota sesuai dengan penilaian kelayakan yang dilakukan oleh pengelola BMT bersama anggotaa yang bersangkutan .
3. Mengelola usaha simpan-pembiayaan secara profesional sehingga kegiatan BMT dapat menghasilkan keuntungan yang dapat dipertanggungjawabkan.
4. Mengembangkan usaha-usaha di sektor riil yang bertujuan untuk mencari keuntungan dan menunjang usaha anggota.
Sedangkan sebagai fungsi sosial, BMT melakuakn kegiatan:
Memberikan bantuan berupa pinjaman untuk kegiatan non produktif.
Pembiayaan untuk belajar usaha diberikan kepada anggota yang sangat miskin dan mempunyai keinginan untuk memulai usaha.
Pendidikan dan bimbingan usaha kepada anggota.
Pendidikan dan bimbingan pemanfaatan hasil usaha yang diperoleh anggota agar benar-benar bermanfaat untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Pendidikan dan penyuluhan moral serta peningkatan kesejahteraan yang direncanakan secara sistematis dan terencana.
(Saifuddin A. Rasyid, http: bmtlink.web.id)
Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Bilqis Puspitasari (2005) tentang alternatif penyelesaian pembiayaan bermasalah pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah dalam hal ini adalah Baitul Maal wa Tamwil Maslahah Mursalah lil Ummah (BMT MUU) cabang Warung Dinoyo Pasuruan Jawa Timur dijelaskan bahwa ditemukan beberapa akar permasalahan mengenai pembiayaan pada BMT tersebut sehingga diperlukan tindakan solutif yang harus diambil.
Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa pembiayaan bermasalah adalah suatu kondisi ketika nasabah yang mendapatkan pembiayaan dari BMT tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan. Persoalan lain muncul terkait dengan pembiayaan bermasalah ini adalah tidak adanya hak bagi BMTuntuk melakukan penyitaan atau perampasan terhadap barang yang dijadikan agunan pada pembiayaan yang bermasalah, tanpa persetujuan dari pemilik sebagaimana yang bisa diakukan oleh bank konvensional. Hal ini dikarenakan penyitaan secara paksa bertentangan dengan tata cara muamalah berdasarkan syirkah. Lebih lanjut penelitian tersebut menawarkan solusi yaitu tata cara muamalah syirkah yang tidak diperbolehkan adalah perampasan agunan tetapi pengamanan dan penjualan agunan diperbolehkan atas kesepakatan bersama, sehingga harapannya akad lebih tegas dan jelas pada saat pertama nasabah mengajukan pembiayaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada tahun 2003 dengan judul Penerimaan Masyarakat atas keberadaan BMT MUI dilihat dari perilaku anggotanya di Sleman Yogyakarta, dengan jumlah respondennya 80 orang menyebutkan bahwa masyarakat mengenal BMT (37 orang) berasal dari BMT langsung, 2 orang dari koran atau selebaran dan promosi, 22 orang dari teman dan 4 orang dari saudara. Lebih dari Sekitar 47% responden menyatakan setuju dengan visi dan Misi BMT, 38% yang lain menyatakan setuju. Terhadap prinsip menghindari riba, 43,75% sangat setuju dan 45% setuju; terhadap sistem jual beli dan bagi hasil, 45% menyatakan sangat setuju, 37,5% menyatakan setuju. Terhadap produk BMT, 27,5% menyatakan sangat setuju, 48, 75% setuju. Artinya rata-rata responden setuju.
Penelitian di Magelang, menyatakan bahwa persepsi atau pandangan terhadap lembaga keuangan syari’ah adalah mampu menjadi alternatif lembaga keuangan konvensional. Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa masyarakat memilih lembaga keuangan syari’ah sebagai mitra adalah karena menerapkan syari’ah (40%), sedangkan sisanya memberikan usul akan memilih kalau didukung oleh profesionalitas yang sebanding dengan bank-bank konvensional. Dari 150 responden, 72% (41 responden) menyatakan setuju atas keberadaan BMT Kharisma di Kotamadya Magelang.
Namun demikian tidak sepenuhnya masyarakat memandang bahwa lembaga keuangan syariah mempunyai dampak positif terhadap perkembangan ekonomi. Hal ini dikarenakan terjadi kasus-kasus yang menorehkan tinta hitam pada perkembangan lembaga keuangan Islam. Misalnya, di daerah Kalimantan pernah didirikan Lembaga keuangan syari’ah yang modalnya diambil dari bank konvensional yang besar. Sekitar satu tahun kemudian lembaga tersebut kolaps dan pemiliknya tidak bertanggungjawab atas kredit macetnya. Pemilik dan penanggungjawab lembaga keuangan syariah tersebut melarikan diri.
Kasus-kasus tersebut, menurut pengamatan penulis tidak hanya terjadi sekali, namun terjadi berulang kali di tempat lain, seperti terjadi di kasus di Tegal, pada lembaga keuangan tersebut menerapkan sistem mudharabah muqayyadah fi an-nisbah bi al miyyah, yaitu asumsi perhitungan nisbah yang ditetapkan 2.5% berdasar jumlah pembiayaan yang dikelurkan, sehingga mekanisme ini menyerupai perhitungan bunga. Walaupun tidak separah seperti kasus di Kalimantan, namun hal tersebut mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap lembaga keuangan syariah, terutama tingkat kepercayaan masyarakat (http://www.msi-uii.net/).
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif (descriptive research) dengan pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data desriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang dan perilaku yang diamati, didukung dengan studi literatur atau studi kepustakaan berdasarkan pendalaman kajian pustaka berupa data dan angka, sehingga realitas dapat dipahami dengan baik (Moloeng, 1990:5). Pendekatan kualitatif juga menggumakan data yang dinyatakan secara verbal dan kualifikasinya bersiat teoritis (Nawawi, 1995:32).
Jenis data
Data dalam penelitian ini merupakan jenis data primer dan sekunder. Menurut Moleong (2000), data primer merupakan data yang diperoleh dengan cara berdiskusi tentang problematika operasionalisasi BMT di lapangan.
Data sekunder merupakan data yang berasal dari selain obyek yang diteliti. Data sekunder ini didapatkan dari artikel, literatur kepustakaan, jurnal-jurnal penelitian, media massa, arsip-arsip yang memiliki relevansi terhadap permasalahan yang dikaji.
Metode Pengumpulan data
Bertolak dari tujuan penelitian dari tujuan penelitian dan untuk mendapatkan data yang diperlukan maka penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data studi pustaka (library reseach). Adapun metode studi pustaka adalah suatu kegiatan untuk mencari data yang berkaitan dengan penelitian dengan cara membaca, menyimak dan memahami literatur-literatur yang ada. Baik berupa pustaka cetak maupun elektronik (data-data internet) (Nasir : 1999) serta melakukan tukar pikiran dengan orang yang memiliki kompetensi terhadap topik yang diangkat.
Manajemen Data
Manajemen data merupakan proses mengelola informasi dan data-data yang didapat di lapangan sehingga siap untuk dianalisis. Pengelolaan data dalam penulisan ini dilakukan dengan :
Pemilihan atau penyeleksian data-data yang relevan serta fokus pada pokok pada pokok permasalahan . Proses ini merupakan proses mengedit data (editing).
Pengklasifikasian data-data tersebut dalam ciri, masalah dan kebutuhan dari penelitian ini (pengkodean).
Merefleksikan data-data yang sudah diklasifikasi dan menelaahnya agar memudahkan analisis dan interprestasinya.
Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskriptif. Dari data-data yang diperoleh kemudian disusun berdasarkan aturan dan analisis sehingga mempermudah pembahasan masalah-masalah yang ada. Dengan metode ini, peneliti ingin mengungkap kompleksitas problematika operasionalisasi BMT di lapangan sebagai salah satu lembaga keuangan mikro yang berbasis syariah.
Kinerja Usaha Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Kinerja usaha BMT relatif rendah terutama diakibatkan oleh kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) dan terjadinya inefisiensi dalam pengelolaan usaha. Terjadinya NPL disebabkan faktor intern lembaga seperti ketidakmampuan menilai kelayakan proyek, adanya kelemahan dalam perikatan hukum, internal control yang tidak efektif, serta penyelewengan yang dilakukan oleh oknum pengelola. Inefisiensi antara lain karena economic of scale BMT dan ketidakmampuan dalam menyusun strategi untuk memperkecil biaya dan mendongkrak pendapatan.
Kegiatan rutin BMT cenderung mengarahkan pengelola untuk lebih berorientasi pada persoalan bisnis (business oriented). Sehingga timbul kegiatan BMT bernuansa pragmatis daripada idealis yang berarti lebih cenderung menjadi Baitul Tamwil daripada Baitul Maal. Dimana lebih banyak menghimpun dana untuk bisnis daripada untuk mengelola zakat, infak dan shadaqoh. Hal ini mengakibatkan fungsi BMT sebagai lembaga sosial dalam menghimpun dan menyalurkan dan untuk kegiatan non produktif dalam rangka mengentaskan permasalahan umat khususnya masyarakat lapisan bawah tidak dapat terealisasi.
Dalam upaya untuk mendapatkan nasabah timbul kecenderungan BMT mempertimbangkan besarnya bunga di bank konvensional terutama untuk produk yang berprinsip jual beli (bai). Hal ini akan mengarahkan nasabah untuk berfikir profit oriented daripada menanamkan aspek syariah , lewat cara membandingkan keuntungan bagi hasil BMT dengan bunga di bank dan lembaga keuangan konvensional.
Berdasarkan penelitian Pusat Inkubasi Usaha Kecil (PINBUK) yang dilakukan tahun 2000, dilihat dari sektor keuangan ternyata likuilidasi BMT lebih kecil dari 25% ini. Hal ini mununjukkan BMT kurang bisa mengelola likuiditas yang berarti BMT cenderung mengumpulkan dana tapi tidak disalurkan. Dari sisi sektor riil, pada umumnya BMT masih belum berpendapat bahwa untung yang tipis dari penjualan yang besar masih lebih baik dari untung yang besar tapi penjualannya sedikit. Beberapa BMT cenderung mengambil untung yang besar dengan penjualan yang kecil, begitu juga bisnis rutin sebagai bisnis inti belum di pahami dengan baik, sehingga bisnis musiman itulah yang membuat BMT terjerembap (http://www.bmtlink.web.id/).

Faktor-Faktor yang menjadi Problematika Operasionalisasi Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) di Indonesia
Faktor Internal
Faktor-faktor internal yang menjadi kendala operasionalisasi BMT antara lain:
1. Permodalan dan Sumber Pendanaan
BMT umumnya memiliki modal yang relatif kecil dan sulit untuk menambah modal apabila diperlukan. Menurut riset yang dilakukan oleh Junaidi, pada umumnya BMT yang ada di lapangan memiliki aset berkisar Rp. 10–30 juta atau sebesar 51%-nya berada pada katagori Rp 10-30 juta-an. Ada beberapa BMT yang memiliki aset di atas Rp 100 juta tetapi jumlahnya hanya 5% (http://www.bmtlink.web.id/). Modal pendanaan merupakan fondasi dalam oprasional suatu lembaga keuangan. Hal ini berarti ketersediaan dana yang terbatas pada sebagian besar BMT di Indonesia akan mempersulit pengembangan usahanya.
Akumulasi kebutuhan dana masyarakat belum bisa dipenuhi oleh BMT. Hal ini yang menjadikan nilai pembiayaan dan jangka waktu pembayaran kewajiban dari nasabah cukup cepat dan belum tentu pembiayaaan yang diberikan BMT cukup memadai untuk modal usaha masyarakat. Dalam melayani penyaluran dana kepada masyarakat dinilai belum maksimal karena masih banyak masyarakat yang berhubungan dengan rentenir walaupun keberadaan BMT cukup dikenal. Hal ini disebabkan masyarakat membutuhkan pemenuhan dana yang memadai dan pelayanan yang cepat, walaupun ia membayar bunga yang cukup tinggi.
2. Sumber Daya Manusia (SDM)
BMT rata-rata memiliki SDM yang produktifitasnya rendah karena tingkat pendidikan yang rendah, tidak adanya standar dalam sistem rekruitmen, jenjang karir yang tidak jelas, sistem penggajian dan bonus yang tidak memadai, dan kurangnya upaya peningkatan kemampuan melalui kegiatan pelatihan dan pendidikan yang menyebabkan pengelola BMT kurang profesional dalam bekerja.
Para pengelola BMT dalam menjalankan tugasnya masih banyak yang mengutamaan kepentingan pribadi dan mengabaikan rasa dedikasi demi memajukan eksistensi BMT, bahkan praktek-praktek KKN juga masih dilakukan oleh beberapa pengelola BMT di Indonesia. Hal-hal tersebut menyebabkan kualitas SDM tidak memadai dan tidak mampu bersaing dengan lembaga keuangan lainnya yang mengakibatkan proses perjalanannya, berjalan tidak sesuai dengan harapan.
3. Inovasi di Bidang Pemasaran
Sebagian besar BMT tidak mampu mengembangkan produk-produk baru yang inovatif yang mampu meningkatkan daya saing dengan lembaga keuangan berskala besar dan dengan lembaga keuangan mikro lainnya. Hal ini dikarenakan umumnya BMT memiliki kualitas SDM yang rendah, dana yang terbatas untuk membiayai kegiatan riset dan pengembangan pasar, serta tidak memiliki strategi untuk mengatasi hambatan tersebut. Pengetahuan pengelola BMT juga dinilai sangat terbatas dalam menangkap dan menyikapi masalah ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat. Sehingga menyebabkan dinamisasi dan inovasi BMT tersebut kurang.
4. Teknologi Informasi
Terdapat banyak BMT yang belum memiliki perangkat teknologi informasi untuk mendukung kegiatan operasionalnya ataupun jika ada tidak mampu memanfaatkannya secara optimal karena keterbatasan SDM. Hal ini menyebabkan BMT tidak memiliki kemampuan akses terhadap informasi baik yang berasal dari intern lembaga maupun ekstern sehingga tidak mampu menyediakan informasi yang cepat, lengakap dan akurat khususnya dalam proses penyusunan perencanaan maupun pengambilan keputusan.
Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal yang menjadi kendala operasionalisasi BMT antara lain:

1. Persaingan
Persaingan yang dihadapi berasal dari sesama BMT, lembaga keuangan mikro lainnya maupun dengan bank umum yang memiliki unit usaha kecil atau cabang di daerah pedesaan. BMT cenderung menganggap BMT lain sebagai lawan yang harus dikalahkan yang mengakibatkan kebersamaan dalam menjalin koordinasi demi kelancaran operasionalisasi menjadi terhambat. Ini merupakan salah satu faktor yang menghambat kemajuan BMT di Indonesia pada umumnya.
2. Tingkat Kepercayaan Masyarakat
Tidak dapat di pungkiri, ada beberapa kelemahan dan penyakit yang kini dirasakan oleh BMT, umumnya berkisar pada lemahnya sumber daya manusia, manajemen, fasilitas, servis, permodalan, dan lain sebagainya. Kelemahan-kelemahan BMT tersebut, pada gilirannya berujung pada sulitnya menumbuhkan kepercayaan masya­rakat luas (public trust) terhadap jasa dan pelayanan yang bisa diberikan BMT.
Apalagi ada beberapa kalangan yang memandang sinis terhadap maraknya perkembangan dan pertumbuhan lembaga keungan syariah, bahkan kalangan umat Islam sendiri. Sinisme terhadap lembaga keuangan Islam tersebut dapat dilihat dari kepercayaan masyarakat Islam terhadap Bank Syariah sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari partisipasi umat Islam dalam investasi atau perguliran modal. Bahkan beberapa ilmuwan muslim ada yang mengecam perbankan syariah, mereka berpendapat bahwa bank-bank Islam dalam menyelenggarakan transaksi-transaksinya justru bertentangan dengan konsepnya. Dengan kata lain, bertentangan dengan semangat syariah. Mereka meragukan mengenai kegiatan-kegiatan usaha-usaha bank-bank Islam tersebut, yang notabene bermaksud untuk menghindarkan pemungutan bunga dan bermaksud agar risiko dipikul bersama, dalam pelaksanaannya sudah diaplikasikan sesuai dengan tujuan tersebut atau hanya penggantian istilah belaka (http://www.gema-pkm.org/)
3. Jaringan
Tidak ada jaringan yang kuat merupakan suatu kelemahan besar yang dihadapi BMT. Lemahnya jaringan berarti bahwa jaringan ada namun tidak memberikan arti dan perubahan yang lebih baik kepada anggota-anggota jaringan tersebut. Sistem jaringan yang lemah juga menyulitkan dalam menghadapi suatu permasalahan. Hal ini disebabkan beberapa BMT cenderung menghadapi masalah yang sama, misalnya nasabah yang bermasalah. Kadang ada satu nasabah yang tidak hanya bermasalah disatu BMT tetapi di BMT lain juga bermasalah. Apabila terdapat jaringan koordinasi yang baik antar BMT maka nasabah tersebut tidak akan dapat mengakses dana dari BMT lainnya karena dia sudah bermasalah di salah satu BMT. Akan tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jaringan koordinasi antar BMT masih lemah dan ampai saat ini belum ada suatu lembaga khusus yang menjadi induk BMT di seluruh Indonesia. Sehingga BMT cenderung berdiri sendiri-sendiri serta mengalami kesulitan dalam mengembangkan usahanya.
4. Kebijaksanaan Pemerintah
BMT yang berkembang di Indonesia tidak didukung dengan ketentuan hukum dan sistem pengawasan atau pembinaan yang memadai. Saat ini BMT menggunakan RUU Badan Hukum Koperasi dinilai kurang sesuai denagan kondisi BMT yang merupakan jenis lembaga intermediasi berskala mikro. Namun BMT juga bukan perbankan sehingga otoritas pengawasan tidak berada di Bank Indonesia. Hal ini menyebabkan kedudukan BMT sebagai lembaga keuangan secara hukum belum jelas sehingga ada sebagian masyarakat yang mengasumsikannya sebagai bank gelap.
5. Pengawasan dan Pembinaan
Belum adanya standar pembinaan dan pengawasan yang baku untuk BMT dan ada beberapa BMT yang belum mempunyai lembaga pengawas, secara tidak langsung telah ikut menghambat perkembangan BMT. Pengawasan yang efektif merupakan alat kontrol bagi BMT untuk beroperasi secara sehat sehingga dapat berkembang secara wajar dan sehat serta memperoleh kepercayaan masyrakat.
Konsep Kebijakan dan Strategi Pengembangan BMT
Konsep Kebijakan
Didasarkan pada berbagai permasalahan yang dihadapi BMT dalam operasianalnya maka dapat dirumuskan beberapa konsep kebijakan :
1. Ditetapkan badan hukum yang jelas serta independen bagi BMT. Hali ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam mengivestasikan uangnya di BMT karena secara hukum sudah ada jamianan yang jelas.
2. Didirikan satu BMT induk dari seluruh BMT yang ada di Indonesia. Di mana unsur-unsur di dalamnya harus ada regulasi. Jadi harus ditetapkan undang-undang khusus untuk BMT. Peraturan pelaksanaan sebagai penjabaran dari undang-undang dilakukan secara desentralisasi melalui BMT pusat dari setiap daerah, sedangkan induk BMT nasional berfungsi sebagai penetapan kebijakan yang bersifat umum. Dengan demikian akan memudahkan dalam pengaturan dan penentuan kebijakan dalam rangka pengembangan potensi serta perluasan jaringan BMT di seluruh Indonesia.
2. Pengawasan terhadap BMT dilakukan oleh lembaga pengawasan independen. Dewan pengawas memiliki tugas utama dalam pengawasan BMT terutama yang berkaitan dengan sistem syariah yang dijalankan. Landasan kerja dewan ini berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Fungsi utama dewan tersebut meliputi: sebagai penasihat dan pemberi saran atau fatwa kepada pengurus dan pengelola mengenai hal-hal yang terkait dengan syariah seperti penetapan produk, sebagai mediator antara BMT dengan Dewan Syariah Nasional, mewakili anggota dalam pengawasan syariah.
Srategi Pengembangan BMT
Dengan mempertimbangkan arah kebijakan pengembangan BMT dan permasalahan yang dihadapi maka strategi pengembangan BMT dirumuskan sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan yang tepat dan berkesinambungan dengan menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan formal ataupun non formal. .
2. Adanya pengetahuan srategik dalam bisnis (business strategy). Hal ini diperlukan untuk meningkatkan profesionalisme BMT dalam bidang pelayanan. Isu yang selalu berkembang dalam bidang ini biasanya adalah pelayanan tepat waktu, pelayanan siap sedia, pelayanan siap dana dan sebagainya.
3. Pengembangan aspek paradigmatik, diperlukan pengetahuan mengenai aspek bisnis islami sekaligus meningkatkan muatan–muatan islam dalam setiap perilaku pengelola dan karyawan BMT dengan masyarakat pada umumnya dan nasabah pada khususnya.
4. Memperluas jaringan kerjasama antar BMT, BPR syariah, bank syariah yang merupakan satu kesatuan berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya serta mempunyai tujuan untuk mengentaskan kemiskinan dan menegakan syariat islam di dalam bidang ekonomi. Dengan demikian akan
terbentuk jaringan vertikal dan horizontal yang mendukung perkembangan dan eksistensi BMT. Jaringan secara horizontal yaitu jaringan antar BMT dan jaringan secara vertikal yaitu antara BMT dengan lembaga lain yang lebih besar. Jaringan merupakan hal yang penting karena memungkinkan BMT memperoleh informasi yang dibutuhkan, akses dana, serta alih pengetahuan dan teknologi.
5. Dilakukan pengawasan secara intensif, karena hal ini sangat penting sebagai alat kontrol dalam pelaksanaan operasional BMT. Pengawasan yang intensif penting untuk meyakinkan bahwa tidak terdapat penyimpangan dalam operasional BMT, sebagai suatu peringatan dini mengenai kondisi kesehatan BMT.
6. Perlunya inovasi produk sesuai syariah yang ditawarkan kepada masyarakat. Pengembangan produk yang inovatif dapat dilakukan melalui program replikasi produk-produk yang telah terbukti keberhasilannya.
7. Strategi pemasaran yang local oriented berdampak pada lemahnya upaya BMT untuk mensosialisasikan produk–produk BMT di luar masyarakat di mana BMT itu berada. Guna mengembangkan BMT maka upaya–upaya meningkatkan teknik pemasaran perlu dilakukan, untuk memperkenalkan eksistensi BMT di tengah–tengah masyarakat.
8. Memperbanyak jumlah BMT dengan mendirikannya di setiap desa. Hal ini dikarenakan saat ini BMT yang ada di Indonesia pada umumnya berlokasi di perkotaan, seperti kabupaten dan kecamatan. Padahal komunitas masyarakat miskin sebagian besar terdapat di pedesaan. Hal ini menyebabkan masih banyak masyarakat miskin yang menggunakan jasa rentenir dikarenakan ketertidaksediaannya BMT di lingkungan tempat tinggal mereka. Selain itu pangsa pasar di daerah pedesan sangat potensial dalam mengembangkan BMT.
9. Meraih dukungan dari tokoh masyarakat dan agama dalam mensosialisasikan potensi dan eksistensi BMT sebagai lembaga keuangan yang siap membantu dalam pemberdayaan potensi usaha kecil dan menemgah. Dukungan dari para tokoh tersebut sangat sangat penting dikarenakan sebagian masyarakat sangat mepercayai tokoh-tokoh yang mereka hormati.
10. Perlu adanya evaluasi bersama guna memberikan peluang bagi BMT untuk lebih kompetitif. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan cara mendirikan lembaga evaluasi BMT atau lembaga sertivikasi BMT. Lembaga ini bertujuan khusus untuk memberikan laporan peringkat kinerja kwartalan atau tahunan BMT di seluruh Indonesia
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah:
Masih banyak BMT di Indonesia yang menghadapi kondisi-kondisi kritis dan terancam bubar. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam problematika dalam operasionalnya.
Secara teoritis eksistensi BMT sangat dibutuhkan oleh masyarakat tetapi dalam segi pengaplikasiannya dinilai belum mampu menjalankan fungsinya secara optimal.
Sumber daya manusia yang dimiliki oleh sebagian besar BMT di Indonesia tergolong masih rendah. Hal ini sangat mempengaruhi operasionalisasi dan daya saing BMT dengan lembaga-lembaga lain yang bergerak di bidang yang sama.
Kurangnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap BMT dikarenakan lembaga ini belum memiliki landasan hukum yang jelas. Disamping itu keraguan dari masyarakat terhadap produk-produk yang ditawarkan, karena dinilai belum sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang sesungguhnya.
BMT belum mampu menjawab problem real ekonomi yang dihadapi masyarakat pada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono, Heri. 2003. Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta : Ekonesia.
Ridwan, Muhammad. 2004. Manajemen Baitul Mal Wa Tamwil (BMT). Yogyakarta: UII press.
Widodo, Hertanto, dkk.1999. Panduan Akuntansi Syariah. Yogyakarta: UII press.
Ilmi, Makhalul SM. 2002. Teori dan Praktek Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Yogyakarta: UII press.
Nursali, dkk. 2004. Strategi Pengembangan Baitul Maal Wa Tamwil(BMT) dalam Memberdayakan Potensi Usaha Kecil dan Menengah sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Universitas Brawijaya: Karya Tulis Mahasiswa.
Bilqis Puspitasari. 2005. Alternatif Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah pada Baitul Maal Wa Tamwil Maslahah Mursalah lil Ummah (BMT MUU) Cabang Warung Dinoyo Pasuruan Jawa Timur. Universitas Brawijaya: Laporan Kuliah Kerja Nyata.
M. Erfan Arif. 2005. Peran dan Fleksibilitas Dana Zakat, Infak, Shadaqoh(ZIS) sebagai Salah Satu Alternatif dalam Memberantas Kemiskinan di Indonesia. Universitas Brawijaya: Karya Tulis Mahsiswa.
http://www.pikiran-rakyat.com/ (diakses tanggal 22 Januari 2006)
http://www.uii-net.com/ (diakses tanggal 22 Januari 2006)
http://www.suara-merdeka.com/ (diakses tanggal 22 Januari 2006)
http://www.gema-pkm.org/ (diakses tanggal 22 Januari 2006)
http://www.ekonomirakyat.org/ (diakses tanggal 22 Januari 2006)
http://www.bmtlink.web.id/ (diakses tanggal 31 Januari 2006)
http://www.geocities.com/ (diakses tanggal 19 Januari 2006)

Selasa, 24 Juni 2008

Potensi Bank Syariah Merambah Sektor UKM

Banyak pakar ekonomi mengatakan bahwa krisis ekonomi yang melanda Bangsa Indonesia tahun 1998 yang lalu telah membuat kondisi perekonomian negara terpuruk. Hampir semua sektor-sektor perekonomian mengalami “kelumpuhan”. Implikasi dari hal tersebut adalah ditandai dengan adanya penurunan pertumbuhan perekonomian nasional sebesar 13,2 %, sementara itu kenaikan harga melonjak sangat tinggi hingga mencapai 77,6% (A.Riawan Amin , 2003).
Di sisi lain, angka pengangguran meningkat tajam sebagai akibat dari semakin banyaknya perusahaan yang mengurangi ataupun menghentikan produksinya. Hal tersebut sesuai dengan teori Kurva Philip yang mengilustrasikan tentang trade off antara inflasi dan pengangguran yang menyatakan bahwa jika pengangguran nol (jumlah orang yang yang bekerja banyak) maka pada akhirnya akan terjadi inflasi (jumlah uang yang beredar di masyarakat sangat banyak) dan selanjutnya akan mengakibatkan turunnya nilai mata uang serta pengurangan tenaga kerja besar-besaran (PHK) untuk menekan biaya produksi, seperti apa yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia. Dampak dari krisis moneter yang telah terjadi sepuluh tahun silam masih kita rasakan hingga saat ini. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam rangka restrukturisasi perekonomian nasional seperti rekapitalisasi dan merger untuk membenahi sektor perbankan namun hal tersebut tidak terlalu banyak mengubah kondisi perekonomian negara.
Sektor riil sebagai salah satu sendi perekonomian yang terpenting ternyata juga belum menunjukkan prestasi yang gemilang, pasca terjadinya krisis moneter. Bisa dikatakan, kalau pertumbuhan pada sektor riil semakin buruk saja. Hal tersebut dikarenakan BI rate yang tinggi yaitu sebesar 12,75% (Andi Buchari, 2006) yang mengakibatkan suku bunga yang ditawarkan oleh bank umum terhadap kreditor menjadi lebih tinggi. Tentu saja hal ini membuat para investor enggan untuk berinvestasi dan lebih memilih untuk relokasi ke luar negeri. Alasan lain yaitu inflasi yang tinggi hingga 18% pada tahun 2005 yang menyebabkan ketidakpastian pendapatan akibat kesulitan dalam hal pemasaran karena harga yang mahal tidak ditunjang oleh purchasing power yang memadai dari masyarakat sedangkan biaya bunga tetap harus dibayar (dianggap sebagai fixed cost) tanpa melihat untung atau rugi.
Salah satu sektor riil yang memiliki prospek cukup bagus di tengah kondisi perekonomian yang tidak menentu pada saat ini adalah UKM atau usaha kecil menengah. Walaupun berskala kecil namun UKM terbukti mampu bertahan di tengah badai krisis moneter dibandingkan dengan BUMN dan BUMS. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya survei yang dilakukan oleh Akatiga dan Asia Foundation yang menunjukkan bahwa dari 320 UKM yang diteliti (pada saat krisis moneter), sebanyak 35% mengalami kenaikan kinerja, 12 % relatif stabil, dan 53 % omzetnya menurun tetapi tidak mengalami kebangkrutan usaha. Maka bisa disimpulkan bahwa keberadaan UKM di Indonesia sangat penting karena dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian negara dengan banyaknya tenaga kerja yang diserap oleh sektor tersebut. Atau dapat juga dikatakan bahwa UKM merupakan katalisator perekonomian karena dapat menyelesaikan masalah perekonomian yang sekarang melanda bangsa Indonesia, diantaranya: menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan.
Namun demikian keberadaan UKM di Indonesia tidak lepas dari berbagai masalah. Masalah terbesar yang dihadapi UKM dalam rangka mengembangkan usahanya adalah keterbatasan modal yang disebabkan oleh sulitnya mencari pinjaman atau kredit kepada lembaga keuangan formal atau perbankan. Dengan demikian, walupun prospek UKM di masa depan sebagai katalisator ekonomi cukup bagus namun jika tidak ditunjang dengan dukungan yang memadai dari sektor perbankan, maka UKM tidak akan bisa maju dan hanya bisa “berjalan di tempat”.
Selama ini pemberian dan penyaluran kedit dari lembaga keuangan formal yaitu bank komersial, baik bank syariah maupun bank konvensional pada sektor UKM dinilai masih belum berjalan secara efektif dan efisien. Hal tersebut dikarenakan adanya gap antara sektor keuangan formal dengan nasabah lapisan bawah yang biasa disebut pembiayaan retail, diantaranya adalah: minimnya jaminan (Bank terikat dengan ketentuan BI mengenai aspek collateral), tingginya biaya transaksi (terkait dengan sektor mikro yang sarat dengan asymetric information sehingga menghambat proses monitoring klien), dan hambatan sosial budaya (rendahnya tingkat pendidikan serta prosedur peminjaman yang dinilai merepotkan).
Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia yang membawahi semua kebijakan perbankan nasional mengeluarkan kebijakan dalam hal penataan perbankan nasional. Kebijakan tersebut bersifat jangka pendek dan jangka panjang.
Adapun kebijakan jangka pendek yaitu meliputi:
penyesuaian ketentuan peraturan BI no. 7 / 2 / PBI / 2005 tentang penilaian kualitas aktiva bank umum
penyesuaian kembali rasio Giro Wajib Minimum pada kuartal pertama pemberian izin kepada cabang konvensional yang memiliki unit usaha syariah untuk melayani transaksi syariah.
perluasan jaringan pelayanan perbankan bagi sektor UKM agar dapat menjangkau seluruh pelosok daerah.
Sedangkan kebijakan jangka panjang meliputi :
penguatan struktur permodalan dalam rangka mempercepat proses konsolidasi.
peningkatan peran bank asing dalam struktur perekonomian.
penguatan posisi dan arah kebijakan BI dalam menata hubungan bank di pasar keuangan.
penguatan manajemen internal perbankan.
perbaikan infrastruktur industri perbankan melalui penyempurnaan JPSK, pembentukan APEX bagi BPR.
Rencana tersebut mengarah pada perluasan cakupan wilayah yang mungkin digarap oleh sektor formal terutama pada kebijakan jangka pendek point 3 dan 4.
Program kredit pengembangan usaha kecil dari pemerintah selama ini masih didominasi oleh bank konvensional di mana operasionalnya terkait erat dengan sistem bunga yang diharamkan dalam ajaran Islam. Program kredit ini biasanya disalurkan sampai ke unit bank konvensional di pelosok tanah air yang terdiri dari desa-desa yang mayoritas penduduknya menganut ajaran Islam dan kebanyakan dari mereka masih memegang budaya Islam dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kondisi penduduk diwilayah tersebut memang tergolong sebagai ekonomi lapisan menengah ke bawah dengan mata pencaharian pokok di bidang agraris antara lain: petani, nelayan dan beternak. Sebagian lainnya merupakan pengrajin. Skala bisnis yang dikerjakan tergolong kecil dan kurang memberikan multiplier effect bagi lingkungan sekitarnya.
Kondisi tersebut tentu memprihatinkan bagi kalangan muslim sendiri, di mana keberadaan bank syariah ternyata belum mampu membebaskan umat islam dari belenggu riba dikarenakan terbatasnya pilihan bagi nasabah dalam mencari pinjaman serupa (kredit proyek pengembangan UKM). Di samping itu, nasabah masih menghadapi masalah pelik ketika ingin mendapatkan pembiayaan itu yang sampai saat ini masih dikuasai oleh bank umum (konvensional) unit mikro yaitu monopoli sumber dana oleh para kapitalis yang memburu program kredit dengan bunga yang lebih rendah (terkait dengan moral hazard perburuan rente) sehingga akses “si kecil’ terhadap sumber modal semakin sulit.
Peran bank syariah terhadap pengembangan sektor UKM yang “minim” tersebut tidak terlepas dari umur bank syariah itu sendiri yang masih tergolong “muda” jika dibandingkan dengan umur bank konvensional yang sudah menerapkan dan concern sebagai microfinance sejak lama. Namun ternyata disadari ataupun tidak, keberadaan bank syariah dalam kancah perekonomian nasional telah memberikan “nuansa baru” bagi iklim usaha di Indonesia.
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
Keberadaan bank syariah di Indonesia diawali dari lokakarya MUI mengenai perbankan tahun 1990. Kemudian diikuti penerbitan UU No 7/1992 tentang Perbankan yang mengakomodasi kegiatan bank dengan prinsip bagi hasil ( Arie Widiarto, 2002 ). Satu-satunya bank syariah yang ada pada waktu itu adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Dalam perkembangan selanjutnya undang-undang perbankan syariah diamandemen menjadi UU no.10 tahun 1998.
Jumlah bank tumbuh pesat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun 1998 menjadi 2 bank umum syariah, 3 unit usaha syariah (UUS), dan 81 BPR syariah pada akhir 2001. Jumlah kantor cabang bank umum syariah tumbuh dari 26 menjadi 51. Pada akhir tahun 2005, jumlah bank syariah (kantor pusat, UUS, dan kantot cabangnya) mencapai 422 ditambah dengan 92 BPR syariah yang sudah beroperasi.
Sistem Keuangan Islam
Sektor keuangan dalam Islam pada hakekatnya merupakan sektor yang berkaitan dengan arus uang, dinamakan aktifitas utamanya adalah investasi. Sehingga sektor keuangan ini tentu kuat hubungannya dengan sektor riil, karena aktifitas investasinya adalah aktifitas produktif sektor riil. Dengan demikian tidak ada dikotomi sejajar antara riil dan moneter, jadi boleg dikatakan corak ekonomi islam sebenarnya adalah aktifitas riil. Eksistensi lembaga keuangan Islam dimaksudkan untuk memperlancar aktifitas ekonomi dengan mempertemukan kelompok defisit dengan kelompok surplus, menggunakan kontrak investasi atau jual beli melalui mekanisme utamanya yaitu bagi hasil (profit-loss sharing). Sektor keuangan dalam Islam tidak memperbolehkan aktifitas keuangan menggunakan bunga, aktifitas spekulasi dan lain-lain yang sifatnya diharamkan oleh syariah Islam. Instrumen yang dapat digunakan sama dengan aktifitas pada riil yaitu mudhrabah, musyarakah, murabahah, ijarah, istisna, salam, rahn dan lain-lain (Ali Sakti 2008).
Kegiatan Usaha Bank Syariah
Kegiatan-kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank syariah atau bank umum yang menerapkan prinsip syariah di Indonesia menurut pasal 28 SK DIR BI 32/34/1999 adalah sebagai berikut :
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi:
Ø giro berdasarkan prinsip wadiah
Ø tabungan berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah
Ø deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, atau
Ø bentuk lain berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah
melakukan penyaluran dana melalui :
Ø transaksi jual beli berdasarkan prinsip murabahah, istishna, ijarah, salam, jual beli lainnya
Ø pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah, musyarakah, bagi hasil lainnya
Ø pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip hiwalah, rahn, qard
membeli, menjual, dan atau menjamin atas risiko sendiri surat-surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip jual beli atau hiwalah.
membeli surat-surat berharga pPemerintah atau Bank Indonesia yang diterbitkan berdasarkan prinsip-prinsip syariah
memindahkan uang untuk kepentingan sendiri atau nasabah berdasarkan prinsip wakalah.
menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip wakalah.
menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah.
melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah.
melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lain dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek berdasarkan prinsip ujrah.
memberikan fasilitas letter of credit berdasarkan prinsip wakalah, murabahah, mudharabah, musyarakah, dan wadi’ah, serta memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip kafalah.
melakukan kegiatan usaha kartu debit berdasarkan prinsip ujrah.
melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan prinsip wakalah
melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang disetujui oleh Dewan Pengawas Syariah.
Selain dapat melakukan kegiatan seperti di atas bank syariah juga dapat melakukan kegiatan sebagai berikut :
melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan prinsip sharf
melakukan kegiatan penyertaan modal berdasarkan prinsip musyarakah dan atau mudharabah pada bank atau perusahaan lain yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip musyarakah dan atau mudharabah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya
bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun bedasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku
bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerima dana zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan (qard ul hasan)
Konsep dan Definisi UKM
Dalam makalah Widjayanto, 2005 disebutkan definisi-definisi usaha kecil menurut berbagai sumber:
1. BPS mendefinisikan usaha kecil dengan jumlah tenaga kerja 5-19 orang
2. UU usaha kecil no. 9 Tahun 1995 mendefinisikan sebagai usaha dengan omset kurang dari 1 milyar per tahun, memiliki aset tetap tidak termasuk tanah dan bangunan kurang dari 200 juta
3. Berdasarkan definisi yang digunakan BI mengenai kredit usaha kecil ( Rp 50 juta- Rp 500 juta ) lebih dari 70% memiliki pinjaman sebesar 50 juta atau kurang.
Masih dari makalah Widjayanto,2005. Penelitian JBIC ( Japan Bank ), DAI (USA ), REDI ( Surabaya ) di Jawa Timur per Juni 2004 mengungkapkan bahwa masih ada ruang peningkatan pelayanan perbankan dalam skala usaha kecil, peminjam memanfaatkan pinjaman dari:
· BRI 47% ( rata- rata plafond Rp 33 juta )
· Koperasi 12% ( rata- rata plafond Rp 11 juta )
· BPR/S 10% ( rata-rata plafond 8 juta )
Kredit Program Usaha Kecil
Istilah kredit dalam perbankan konvensional lebih dikenal dengan istilah pembiayaan dalam perbankan syariah. Menurut Antonio (2001), pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya pembiayaan dibagi menjadi dua hal, yaitu :
pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas untuk peningkatan usaha baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Dari uraian di atas kredit program dapat diklasifikasikan sebagai pembiayaan produktif yang spesifik kepada pembiayaan modal kerja. Kredit program sendiri merupakan proyek pembiayaan untuk meningkatkan modal bagi usaha kecil agar mampu bertahan dan mengembangkan usaha. Oleh karena tujuannya spesifik, maka hanya skala usaha kecil yang dapat mengakses kredit program ini.
Lembaaga Keuangan Mikro
Fokus pembiayaan pada lembaga keuangan mikro ditujukan pada pengusaha kecil dan menengah sebagai unit defisit dalam hal permodalan.
Menurut Soetrisno, LKM di Indonesia bisa dibagi menjadi 2 kelompok besar yakni:
Bank Umum dan BPR/ Syariah
Fungsi bank umum sebagai LKM adalah dengan membentuk unit mikro yang beroperasi sampai ke pelosok tanah air, contohnya: BRI-unit.
Koperasi
LKM yang berbentuk koperasi simpan pinjam ( KSP ) atau koperasi lainnya termasuk di dalamnya BMT.
Aspek Jaringan dan Modal Bank Sayariah
Pertumbuhan bank syariah dari tahun ke tahun menunjukkan indikasi yang baik bagi perkembangan bank syariah nasional karena fungsi bank sebagai penyedia jasa perbankan sangat dipengaruhi oleh jaringannya. Semakin banyak bank yang beroperasi dengan prinsip syariah, semakin banyak pilihan untuk mecukupi likuiditas karena mismatch manajemen.
Sebagai lembaga intermediasi, bank dinilai sehat apabila memenuhi kaidah kecukupan modal (capital), aset (asset), manajemen (management), keuntungan (earning), dan likuiditas (liquidity). Kelima kaidah tersebut biasa disebut dengan istilah CAMEL. Dari kelima kaidah tersebut, bank syariah mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan LKM yang lain. DPK bank syariah yang terus mengalami trend kenaikan (menunjukkan kebutuhan pasar akan institusi syariah), harus diikuti dengan kenaikan pembiayaan juga karena karakteristik bank syariah yang sangat terkait dengan sektor riil. Dana yang tidak tersalurkan, akan menjadi iddle yang akan berimbas pada porsi bagi hasil yang lebih rendah pada sahibul maal karena ada dana yang tidak termanfaatkan untuk usaha yang berpotensi menghasilkan keuntungan.
Di samping itu adanya bank syariah BI dengan perannya sebagai lender of the last resort sangat berperan dalam mengurangi resiko likuiditas yang mungkin dihadapi oleh bank syariah dalam operasinya.
Aspek Legalitas Perbankan Syariah
Selain pertimbangan syariah (pilihan atas halal dan haram) nasabah juga mempertimbangkan aspek legalitas dari sebuah lembaga keuangan syariah. Tentu saja masyarakat tidak mau mengulang pengalaman pahit krisis perbankan di tahun 1997-1998 di mana masyarakat berbondong-bondong untuk menarik dana yang ada di bank karena ketidakpercayaan masyarakat atas keamanan dana tersebut. Selanjutnya uang kartal yang dipegang masyarakat melonjak tajam dari Rp. 24,9 trilyun pada akhir oktober 1997 menjadi Rp. 37,5 trilyun pada akhir januari 1998 dan puncaknya pada bulan Juni 1998 mencapai Rp. 45,4 trilyun. Implikasinya inflasi melonjak tajam dan nilai tukar rupiah terhadap dolar menembus angka nominal Rp. 16.000 pada tanggal 22 januari 1998.
Dampak buruknya sektor riil mengalami keterpurukan. Pengangguran meningkat karena banyak usaha yang gulung tikar karena tidak mampu menghadapi kondisi tersebut.
Krisis perekonomian Indonesia telah membuka wacana baru akan ketahanan bank Syariah dalam menghadapi keadaan tersebut. Kondisi ini mendorong perubahan atas UU No 7 Th 1992 pada UU No 10 Th 1998.. Undang-undang ini kemudian diikuti dengan terbitnya sejumlah ketentuan lain diantaranya :
Ø SK Gubernur BI / peraturan Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan lebih luas bagi pengembangan perbankan syariah di tanah air.
Ø UU No.23 tahun 1999 menugaskan Bank Indonesia untuk menyiapkan perangkat kegiatan dan fasilitas penunjang lainnya yang mendukung operasional Bank Syariah. (Republika Online)
mencapai keuntungan masing-masing. Bank menetapkan bunga yang sekecil mungkin untuk deposan dan sebesar mungkin untuk debitor.
Tingkat Kestabilan Bank Syariah
Pada saat kondisi ekonomi yang tidak menentu , inflasi misalnya, bank konvensional tidak bisa menghindar dari tingkat bunga tinggi yang mengakibatkan bank mengalami negative spread atau membayar bunga deposito lebih tinggi daripada penerimaan bunga kredit. Berlawanan dengan itu, bank syariah tidak begitu terpengaruh dengan adanya kondisi perekonomian yang buruk karena bank syariah tidak memakai sistem bunga sehingga tidak sampai menggalami negative spread.
Hubungan Sektor Riil dengan Sistem Perbankan Islam
Karena bank syariah menerapkan sistem bagi hasil bukan bunga maka prinsip yang digunakan adalah prinsip keadilan untuk menuju perekonomian yang stabil serta sehat. Adapun kontribusi yang diberikan oleh bank syariah kepada perekonomian nasional sesuai dengan prinsip tersebut di atas adalah bahwa keberadaan bank syariah akan meningkatkan sektor riil di Indonesia. Hal tersebut karena bank syariah dalam menjalankan kegiatannya terutama dalam menyalurkan pembiayaan benar-benar berdasarkan kegiatan nyata /riil sehingga hasil yang didapatkan bukan hasil spekulasi seperti yang terdapat pada bank konvensional. Sehingga hasil yang dicapai yaitu pertumbuhan ekonomi benar-benar mencerminkan kondisi sektor riil.
Sektor riil sedang mengalami proses kehancuran. Kalau dikaji secara ilmiah mengapa sektor riil ”seperti telur di ujung tanduk” adalah karena suku bunga yang ditetapkan oleh bank konvensional untuk pembiayaan sangat tinggi. Dan kemudian timbul pertanyaan berikutnya yaitu mengapa bank konvensional menetapkan bunga yang tinggi, hal tersebut karena bank konvensional menetapkan prinsip profit oriented yang disebabkan bank harus menanggung bunga yang dibayarkan kepada deposan dengan bunga yang relatif tinggi juga dengan asumsi bank harus selalu dalam keadaan untung agar tidak terjadi negative spread.
Bisa dibayangkan tentu bahwa dengan alasan-alasan di atas dapat diketahui bahwa dalam prakteknya bank konvensional hanya memikirkan kepentingan institusinya saja agar tidak mengalami kerugian atau negative spread. Bank konvensional tidak mempedulikan kelangsungan hidup para kreditor, sehingga kreditorpun tidak fokus dalam mengembangkan usahanya yang paling diutamakan adalah ketepatan dan kemampuan dalam membayar cicilan utang kepada bank konvensional. Dan pada akhirnya sektor riil pun tidak bisa berjalan dengan baik.
Dari paparan di atas bisa disimpulkan bahwa keberadaan bank syariah memang sangat diperlukan dalam kondisi ini terutama untuk membantu mengatasi keterpurukan yang dihadapi oleh sektor riil dalam hal ini UKM dalam bidang permodalan.
Peran strategis bank syariah dalam pembiayaan proyek UKM
Sesuai dengan fokus pengembangan perbankan syariah nasional pada fase kedua yaitu meningkatkan kompetensi skill , profesional lembaga dan pelaku perbankan syariah, serta meningkatkan fungsi intermediasi, efisiensi, dan daya saing industri perbankan syariah, maka diperlukan adanya kesiapan menyongsong pasar retail yang masih terbuka peluangnya. Pertanyaannya, haruskah bank syariah terjun langsung dalam mengakomodasikan proyek pembiayaan itu pada sektor itu? Sementara bank Indonesia yang berstatus sebagai otoritas moneter menetapkan prosedur agunan yang selama ini masih menyulitkan UKM untuk masuk dalam LKM formal. Dengan melihat trend pasar yang menjanjikan serta kebijakan BI, bank Syariah sebenarnya bisa memasuki pasar UKM ini secara langsung di samping juga tetap mengakomodasi kelas lower dengan program linkage. Sedangkan masalah kesulitan agunan bisa disiasati dengan mengembangkan social capital dengan memberdayakan kelompok usaha, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSP) sehingga berlaku tanggung jawab renteng dengan double pressure yaitu pada bank dan pada kelompoknya.
Oleh karena itu perlu adanya lembaga intermediasi syariah dengan kekuatan yang sama yang masuk dalam sektor UKM ini untuk melindungi kepentingan pengusaha kecil dari praktek-praktek perbankan yang tidak fair dan tentunya memenuhi prinsip syaiah.
Program kredit / pembiayaan proyek untuk kegiatan produktif memang seharusnya mencapai sasaran yaitu meningkatkan volume produksi yang akan meningkatkan produktivitas di sektor riil sehingga menghasilkan multiplier effect (permintaan tenaga kerja maupun usaha ikutannya) bagi lingkungan sekitarnya dan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi.
Oleh karenanya diperlukan integrasi program kredit yang tidak lagi bertumpu pada satu lembaga saja.
Analisis Hambatan
Walaupun bank syariah memiliki berbagai macam kelebihan dan keunggulan dalam menggerakkan laju perekonomian yaitu sektor UKM, namun perlu diketahui bahwa pengaruh bank syariah terhadap pertumbuhan perekonomian nasional hanya 0,23% atau kurang dari 1%. Menurut analisa dari bank Indonesia bahwa bank syariah baru akan bisa memperngaruhi perekonomian nasional bahkan bisa mempengaruhi inflasi jika peran bank syariah dalam pertumbuhan perekonomian nasional bekisar antara 10%-20%.
Sedangkan dalam sektor UKM (yang merupakan stimulator perekonomian) peran bank syariah saat ini juga dinilai belum maksimal. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa saat ini penyaluran pembiayaan pada sektor UKM masih didominasi oleh bank konvensional.
Adapun alasan-alasan yang menghambat bank syariah dalam mengoptimalkan perannya pada sektor UKM adalah sebagai berikut :
Ketersediaan sumber daya insani yang memahami aspek fikih sekaligus aspek finansial di Indonesia masih sangat terbatas (SDM yang kurang berkualitas),
Sosialisasi tentang bank syariah yang kurang terutama kepada masyarakat lapisan bawah sebagai pemegang peranan penting sektor UKM
Kurang aktifnya bank syariah dalam pembiayaan,
Kecanggihan teknologi informasi yang masih ketinggalan jika dibandingkan dengan bank konvensional
kebijakan pemerintah terhadap perkembangan bank syariah dinilai lamban karena pemerintahan sendiri masih berpihak pada perbankan konvensional dengan alasan eksistensi bank konvensional selama ini berpengaruh pada perekonomian nasional serta kurangnya pengetahuan pemerintah tentang bank syariah sendiri
adanya asymetris information atau informasi satu arah antara bank syariah dengan nasabah sehingga tidak ada sinkronisasi dalam menjalankan aktivitasnya
adanya penyelewengan tugas oleh pihak bank syariah itu sendiri dikarenakan sumber daya manusia yang diberdayakan dalam bank syariah tersebut berasal dari bank konvensional atau karena pengetahuan yang dimiliki hanya terbatas pada itu-itu saja
peran bank syariah sebagi mitra kerja sektor UKM yang dinilai belum tuntas artinya bank syariah hanya membantu dalam hal pembiayaan dana saja tetapi tidak turut serta membantu untuk memajukan UKM dalam meningkatkan pendapatannya.
jumlah bank syariah yang belum sampai ke pelosok-pelosok desa merupakan hambatan yang cukup berarti karena sebagian besar sektor UKM berlokasi di wilayah pedesaan.
Hambatan-hambatan seperti yang telah disebutkan di atas itulah yang menyebabkan perkembangan bank syariah terhambat walaupun secara teoritis bank syariah memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) dalam perekonomian nasional. Oleh sebab itu, diperlukan adanya kerjasama antara pemerintah sebagai penentu kebijakan, bank syariah , serta masyarakat. Dengan begitu bank syariah akan mampu bersaing dengan bank konvensional serta pada akhirnya akan benar-benar mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional melalui pertumbuhan sektor riil.
Kesimpulan
Bank Syariah mempunyai keunggulan-keunggulan untuk masuk dalam sektor mikro (usaha kecil) yang selama ini hanya dikelola oleh bank yang masih berbasis bunga. Karakteristik Bank Syariah yang senantiasa dekat dengan sektor riil strategis dengan upaya pengembangan usaha kecil melalui kredit program ditambah lagi dengan faktor-faktor pendukung ( instrumen dalam bank syariah, contohnya tingginya FDR, rendahnya NPL, serta faktor pendukung yang lain ) maka bank syariah berpotensi besar memasuki wilayah mikro sesuai dengan rencana kebijakan BI sebagai Bamk Sentaral Indonesia.

Daftar Pustaka

Ali Sakti, (2008), Islamic Economics, (Makalah dalam Studi Intensif Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah Prodi Muamalah (Ekonomi Islam) STAIN Batusangkar Sumatera Barat).
Andi Buchari, (2006), Bank Syariah Takterpengaruh Patokan BI dalam Tempo Interaktif, Jakarta
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2005. Peran Bank Indonesia Dalam Percepatan Pengembangan Bisnis Syariah di Indonesia. Makalah Di sajikan dalam Kuliah Informal Ekonomi Islam BREVITIES. CIES, Malang 10 Desember 2005.
Riawan Amin, (2003), Peluang Investasi Berbasis Syariah, Jakarta

Salam, Abdul (2005). Berebut Pasar Kredit Mikro : Perlukah Pembatasan. Http:// http://www.pnm.com/. Diakses tanggal 12 Januari 2006.
Sjahdeini, Sutan Remy, 1999. Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta : Grafiti.
Soetrisno, Noer. (tanpa tahun). Lembaga Keuangan Mikro: Energi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat ?
Syafii antonio, Muhammad.2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik.
Jakarta:Gema Insani
Widjayanto, Tri Hari.2005. Peran BPR Syariah Dalam Peningkatan Kesejahteraan UKM. Makalah Disajikan dalam Seminar Temu Ilmiah Regional FoSSEI Jawa Timur, Jombang 15 Januari 2005

Kamis, 19 Juni 2008

Berita Akreditasi Stain Batusangkar Di Koran Singgalang

Hari Ini, Jumat 20 juni 2008, Keluarga Besar BBC mengucapkan Selamat Atas Ter Akreditasinya ^ (Enam) Prodi di STAIN Batusangkar pada Koran Singgalang. Prodi yang di Akreditasi yaitu: Prodi Tadris Bahasa Inggris dengan Akreditasi B
Prodi Pendidikan Bahasa Arab dengan Akreditasi B
Prodi Pendidikan Agama Islam dengan AKreditasi B
ini termuat dalam SK BAN-PT no. 001/BAN-PT/Ak-XI/S1/V/2008
untuk Prodi Muamalah (Ekonomi Islam) dengan Akreditasi B termuat dalam SK Ban-PT No. 002/BAN-PT/Ak-XI/S1/V/2008
Sedangkan untuk Prodi Kependidikan Islam dengan nilai Akreditasi A dan Prodi Hukum Perdata Islam dengan Akreditasi B tertuang dalam SK BAN-PT no. 006/BAN-PT/Ak-XI/S1/V/2008.

Senin, 16 Juni 2008

Allhamdulillah Akhirnya Datang Juga

Allhamdulillah, sudah datang SK BAN-PT yang ditunggu-tunggu, terutama bagi Prodi KI/BK dan Prodi Hukum Perdata Islam. Dengan SK nomor 006/BAN-PT/Ak-XI/S1/V/2008 tertanggal 23 Mei 2008 yang menyatakan bahwa Program Studi Kependidikan Islam /KI, Ter Akreditasi "A" dan Program Studi Hukum Perdata Islam Ter Akreditasi "B" ,Selamat untuk kedua Prodi Tersebut. Maka lengkaplah semua Program Studi di STAIN Batusangkar yang di usulkan sudah Ter Akreditasi semua

Semoga Hari Ini Datang SK Akreditasi dari BAN-PT

Sesuai janji BAN-PT bahwa SK Akreditasi untuk Prodi BK dan Prodi HPI di perkirakan hari ini akan datang dari Jakarta, makanya segenap unsur yang tekait dengan Akrediatasi untuk bersiap-siap menyambut sang SK tersebut, terutama yang berhubungan langsung dengan Prodi KI/BK dan Prodi HPI, karena hanya 2 Prodi ini SK Akreditasinya yang belum datang dari BAN-PT tersebut, empat Prodi lainnya sudah menikmati dan melihat hasil Akreditasi Program tudinya masing-masing, tapi publikasi dari Programstudi-Programstudi tersebut belum ada bahwasanya masing-masing Programstudinya sudah Ter Akreditasi dengan Baik. Sayang ya.

Minggu, 15 Juni 2008

Tak Sabar Menunggu SK Akreditasi dari BAN-PT

Sudah lebih dari 2(dua) minggu menunggu kabar dari BAN-PT tentang Ter Akreditasinya Prodi KI/BK dan Prodi HPI. Setelah BAN-PT menelepon ketua Akreditasi Stain Batusangkar Gampito, SE, M.SI, yang meng informasikan nilai Akreditasi yang di peroleh oleh Prodi KI/BK dengan Akreditasi "A" dan Prodi HPI dengan nilai Akreditasi "B". Seolah kami di STAIN Batusangkar tidak sabar lagi menunggu sang SK tersebut. Setiap hari kawan2 yang saya temui selalu menanyakan apakah SK BAN-PT tersebut sudah datang. Saya sebagai ketua Akreditasi Stain Batusangkar mulai juga was-was, apakah telepon yang diterima dari BAN-PT tersebut benar adanya atau bagaimana?? mulai gelisah juga, setelah di konfirmasi ulang ke BAN-PT ternyata SK tersebut sudah di kirim jawab personil dari BAN-PT, tapi kok belum juga sampai ke pada kami di Stain Batusangkar ????
Pada hari senin tangal 16 Mei 2008 langsung sekretaris Panitia Akreditasi Stain Batusangkar saudari Ika Metiza Maris (Ci-im) menelepon ke BAN-PT tersebut, ternyata SK yang ditunggu-tunggu itu baru saja di kirim oleh personil BAN-PT tsb. WAHHHHHHH butuh lagi kesabaran kami terutama Bu Ani untuk beberapa hari ini menunggu sang SK tersebut, atau kita sebagai Panitia harus mempersiapakan tim penyambutan SK tersebut dengan tari galombang dan kalungan bunga heheheheh ada ada aja........?????????? semoga cepaaaaaaaaattttttt sampe ya.

Kamis, 12 Juni 2008

LUAR BIASA AKREDITASI "A" PRODI KI/BK STAIN BATUSANGKAR

LUARRRRRRR BIASAAAA KATA KETUA AKREDITASI STAIN BATUSANGKAR, GAMPITO, SE, M.Si. SETELAH MENDENGAR KABAR DARI BAN-PT. VIA TELEPON BAHWA PRODI KEPENDIDIKAN ISLAM/BIMBINGAN KOSELING (KI/BK) TER AKREDITASI "A" DAN PRODI HUKUM PERDATA ISLAM (HPI) TER AKREDITASI "B"
SYUKUUUUUURRRRRRR YANG SEBESAR BESAR NYA AMINNNN.

BBC mengucapakan Selamat Akreditasi STAIN Batusangkar

BBC ( Bukittinggi Barulang Club) juga tidak mau ketinggalan mengucapkan selamat untuk Semua Prodi di STAIN Batusangkar yang sudah Ter Akreditasi oleh BAN-PT, yaitu:
Prodi Kependidikan Islam/ Bimbingan Konseling (KI/BK) Ter Akreditasi "A"
Prodi Muamalah (Ekonomi Islam) Ter Akreditasi "B"
Prodi Tadris Bahasa Inggris (TBI) Ter Akreditasi "B"
Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) Ter Akreditasi "B"
Prodi Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Ter Akreditasi "B"
Prodi Hukum Perdata Islam (HPI) Ter Akrediatasi "B"

Selamat juga Kami ucapkan kepada Ketua Akreditasi Stain Batusangkar Gampito, SE, M.Si. Dkk

6 Prodi Stain Batusangkar Ter Akreditasi

Syukurrrrrrrrrrrr deh, kata ketua Akreditasi Stain Batusangkar Gampito, SE, M.Si. setelah mendengar pengumuman dari BAN-PT bahwa 6 Prodi yang ada pada STAIN Batusangkar sudah keluar Akreditasi nya, kesemuanya ter Akrediasi Baik dengan mendapat nilai Terbaik.

Akreditasi "B" Prodi MUA STAIN Batusangkar

Selamat Prodi Muamalah (Ekonomi Islam) telah di Akreditasi BAN-PT dengan nilai baik "B" atau ter Akreditasi B. berdasarkan SK BAN-PT No. 002/BAN-PT/Ak-XI/S1/IV/2008
pada Tanggal 26 April 2008
Itulah prestasi baik dari ketua Akreditasi Gampito, SE, M.Si. Selamat Selamat Selamat
6 Program Studi langsung Ter Akreditasi di STAIN Batusangkar