Selasa, 15 Juli 2008

Sepuluh Pilar Pengembangan Bank Syariah

Market share bank syariah di Indonesia saat ini, relatif masih kecil, belum mencapai 2 % dari total asset bank secara nasional. Bank Indonesia menargetkan akan mencapai market share 5,2 % pada akhir Desember 2008. Pertumbuhan unorganik memang bisa dilakukan untuk mencapai target tersebut, namun pertumbuhan tersebut bisa saja rapuh, karena bersifat pemaksaaan. Pada pertumbuhan unorganik, orang menerapkan bank syariah bukan karena pemahaman dan kecerdasannya secara ilmiah tentang bank syariah, tapi lebih karena regulasi atau ikut-ikutan . Karena itu, kita harus memperioritaskan pendekatan pertumbuhan secara organik.Untuk mengembangkan dan memajukan bank syariah secara ornaik, setidaknya ada 10 pilar yang harus diperhatikan.
1.Peningkatan pelayanan dan profesionalisme
Di masa depan, ketika bank-bank syari’ah telah dominan dan meluas ke berbagai daerah, isu halal-haram tidak bisa diandalkan lagi. Pendekatan yang lebih menekankan aspek emosional harus dikurangi. Bank-bank syari’ah harus mengedepankan profesionalisme dan mengutamakan service exellence kepada customer
Apabila perbankan syari’ah bisa memberikan pelayanan yang prima dan profesional serta memiliki kinerja yang exellence, maka dapat dipastikan umat Islam akan lebih percaya terhadap perbankan syari’ah. Para praktisi bank syari’ah harus dapat meyakinkan ummat Islam bahwa bank syari’ah itu lebih baik. Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa faktor pelayanan sangat menentukan pilihan masyarakat dalam memilih bank-bank syariah.
2.Inovasi ProdukPerkembangan industri perbankan di dunia dalam beberapa dasawarsa terakhir ini amat mengagumkan. Produk-produk yang dikembangkan di pasar semakin bervariasi dan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Semuanya itu dikembangkan dengan dukungan teknologi informasi dan telekomunikasi yang semakin canggih, sehingga mempermudah urusan konsumen dan meningkatkan efisiensi kegiatan usaha para konsumen. Dari hari ke hari produk-produk baru terus bermunculan, menawarkan daya tarik tersendiri.Produk-produk bank syari’ah yang ada sekarang harus dikembangkan variasi dan kombinasinya, sehingga menambah daya tarik bank syari’ah. Hal itu akan meningkatkan dinamisme perbankan syari’ah. Untuk mengembangkan produk-produk yang bervariasi dan menarik, bank syari’ah di Indonesia dapat membangun hubungan kerjasama atau berafiliasi dengan lembaga-lembaga keuangan internasional. Kerjasama itu akan bermanfaat dalam mengembangkan produk-produk bank syari’ah. Keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan akan banyak tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tetapi tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah
3. Sumber Daya Insani
Bank Syari’ah harus mempersiapkan sumber daya insani (SDI) yang berkualitas dan handal, karena eksistensi kualitas sumber daya insani sangat menentukan pengembangan perbankan syari’ah di masa mendatang. Kualitas sumber daya insani merupakan tulang punggung dalam suatu organisasi dan sangat berpengaruh pada keberhasilan organisasi. Untuk bisa menggerakkan bisnis islami dengan sukses, diperlukan SDI yang yang menguasai ilmu bisnis dan ilmu-ilmu syari’ah secara baik. Selama ini SDI penggerak bisnis islami berasal dari pendidikan umum yang diberi training singkat mengenai bisnis islami. Seringkali training seperti ini kurang memadai, karena yang perlu diupgrade bukan hanya knowlegde semata, tetapi juga paradigma syari’ah, visi dan missi, serta kepribadian syari’ah.
Untuk melahirkan SDI yang berkompeten di bidang bisnis dan hukum syari’ah secara komprehensif dan memadai, serta memiliki integritas tinggi, maka manajemen bank syari’ah harus siap berinvestasi menyekolahkan dan mentraining para sumber daya insaninya. Integritas tinggi hanya bisa diperoleh dan dipertahankan bila dilandasai kejujuran dan dapat dipercaya, sedangkan kompetensi perlu didukung dengan kecerdasan (fathanah), keterbukaan dan komunikatif (tabligh) .
4. Perluasan Jaringan Kantor
Perbankan syariah harus memperluas jaringan kantor agar dapat menjangkau seluruh masyarakat, sehingga alasan darurat bagi daerah yang belum ada bank syari’ahnya bisa dikurangi. Bank-bank milik pemerintah (BUMN) dapat melakukan perluasan outlate dengan memanfaatkan kantor-kantor cabangnya yang tersebar di seluruh Indonesia, misalnya Bank BNI dan BRI. Perluasan jaringan bank pemerintah tersebut tidak harus dengan membuka kantor-kantor cabang baru, karena membutuhkan modal besar. Sedangkan bagi bank swasta yang kekurangan modal untuk memperluas pembukaan outlate, harus inovatif dalam membuat terobosan-terosan baru agar jaringannya menjangkau masyarakat luas sampai ke daerah-daerah. Office channeling merupakan sebuah langkah baru untuk mempercepat pertumbuhan asset bank syariah.
5. Peraturan yang mendukung
Sistem perbankan syari’ah merupakan sub-sistem dari sistem keuangan nasional.Oleh karena itu, keberadaan dan kegiatan perbankan syari’ah tersebut perlu diatur secara tegas dan jelas dalam hukum positif atau perundang-undangan nasional yang berlaku, sebaiknya dalam bentuk Undang-Undang tersendiri. Undang-Undang tersebut tidak saja akan mewujudkan kepastian hukum, tetapi juga akan membuat suasana regulasi lebih kondusif.
Semua fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional MUI tentang produk dan sistem perbankan syari’ah, harus diterjemahkan ke dalam peraturan Bank Indonesia. Hal ini akan semakin menunjang kemampuan kompetitif perbankan syari’ah sehingga dapat meningkatkan pangsa pasarnya secara signifikan. Bila ini dilakukan, maka target 5 % pangsa pasar bank syari’ah yang dicanangkan Bank Indonesia dalam blue print, akan terlampuai sebelum tahun 2011.
6. Syari’ah CompliancePraktek operasional perbankan syari’ah harus benar-benar dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah. Jawaban-jawaban apologetis yang berlindung di bawah payung Dewan Syari’ah tidak menjamin praktek operasinya benar-benar syari’ah. Dengan semakin meluasnya jaringan perbankan syari’ah, maka Dewan Pengawas Syari’ah, harus lebih meningkatkan perannya secara aktif. Selama ini sangat banyak Dewan Pengawas Syari’ah tidak berfungsi melakukan pengawasan aspek syari’ahnya. Di masa depan, perlu dibentuk Dewan Pengawas Syari’ah di daerah. Bila Dewan Pengawas Syari’ah hanya mengandalkan DPS pusat, sangat dikhawatirkan, praktek operasi bank syari’ah tidak terawasi. DPS pusat kini banyak tak mengetahui kalau di daerah-daerah ribuan penyimpangan syariah terjadi. Pengaduan audiens dalam forum-forum seminar kepada penulis juga tak terhitung banyaknya. Selain itu, para praktisi bank syariah, wajib mengikuti pengajian atau training ekonomi syariah secara berkelanjutan. Kini diasumsikan lebih dari 80 % praktisi bank syariah belum memahami ekonomi syariah dan fiqh muamalah ekonomi. Para petinggi bank-bank syariah tampaknya tidak begitu peduli akan realitas minimnya pengetahuan kesyariahan para kru atau karyawan bank syariah. Memang ada satu atau dua bank yang peduli kepada aspek kepatuhan kepada syariah, namun secara umum, hal ini tidak menjadi perhatian para praktisi bank syariah.Selain itu, bank-bank syariah harus menjadi uswah hasanah dalam penerapan GCG (Good Corporate Governance). Bank-bank syariah harus berada di garda terdepan dalam implementasi GCG tersebut. Jangan nodai citra syariah yang suci dengan moral hazard. Penerapan good corporate govarnance di bank syariah, tidak saja meningkatkan kepercayaan publik kepada bank syariah, tetapi juga merupakan bagian dari upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional.
7. Edukasi yang kontiniu.
Upaya yang paling utama untuk membesarkan bank syariah adalah melaksanakan edukasi masyarakat tentang sistem bank syariah, keunggulannya, prinsip-prinsip yang melandasainya, mekanisme operasional, dsb. Prof.Dr.M.A.Mannan, pakar ekonomi Islam, dalam buku Ekonomi Islam, sejak tahun 1970 telah mengingatkan pentingnya upaya edukasi masyarakat tentang keunggulan sistem syariah dan keburukan dampak sistem ribawi. Fakta membuktikan, bahwa market share perbankan syariah masih sekitar 1,7 persen, karena itu perlu gerakan edukasi dan pencerdasan secara rasional tentang perbankan syariah, bukan hanya mengandalkan kepatuhan (loyal) pada syariah.
Karena informasi keilmuan yang terbatas, masyarakat masih banyak yang menyamakan bank syariah dan bank konvensional secara mikro dan sempit. Tegasnya, Masyarakat (publik) masih banyak yang belum mengerti betapa sistem bunga, membawa dampak yang sangat mengerikan bagi keterpurukan ekonomi dunia dan negara-negara bangsa.
Jika masyarakat masih menganggap sama bank syariah dengan bank konvensional, itu berarti, masyarakat belum faham tentang ilmu moneter syariah, dan ekonomi makro syariah tentang interest, dampaknya terhadap inflasi, produsti, unemployment, juga belum faham tentang prinsip, filosofi, konsep dan operasional bank syari’ah. Menggunakan pendekatan rasional sempit melalui iklan yang floating (mengambang) hanya menciptakan custumer yang rapuh dan mudah berpindah-pindah. Maka kita perlu menggunakan pendekatan rasional komprehensif, yaitu pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan rasional, moral dan spiritual.
Sasaran edukasi sangat luas meliputi seluruh komponen masyarakat, seperti ulama, pemerintah, akademisi, pengusaha, ormas Islam dan masyarakat secara luas. Upaya ini membutuhkan kerja keras dari para pejuang ekonomi syariah, baik ahli ekonomi Islam maupun praktisi bank syariah.
8 .Sinergi
Sinergi sesama bank syariah merupakan sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan untuk mengembangkan dan mempromosikan bank syariah secara signifikan. Bank-bank syariah tak boleh promosi dan bekerja secara sendiri-sendiri. Kegiatan Indonesia syariah Expo yang baru-baru ini dilaksanakan merupakan bentuk sinergi yang perlu diteruskan. Masih banyak bentuk sinergi lain yang bisa dilakukan, seperti menggelar kegiatan bersama dalam promosi di TV,Radio, menggelar workshop dan training ulama dan dosen ekonomi, penerbitan majalah dan buletn dan sebagainya. Demikian pula dalam produk tabungan dan ATM bersama, bank-bank syariah bisa bersinergi.Pepatah ”Bersatu kita teguh, bercerai kita rubuh” perlu dicermati, konsep ukhuwah perlu diimplementasikan. Bank-bank syariah, perlu menghayati filosofi shalat berjamaah. Jika dua muslim shalat sendiri-sendiri, nilainya menghasilkan masing-masing 1 point. tetapi jika dua orang muslim shalat berjamaah oleh maka akan menghasilkan masing-masing 27. Jadi dalam filosofi matematis shalat jamaah, 1 + 1 bukan sama dengan dua, tetapi sama dengan 27. Karena itu bank-bank syariah, hendaknya jangan ingin besar sendiri dan menang sendiri. Tujuan besar sendiri sulit dicapai tanpa sinergi sesama bank syariah.
9. Bagi Hasil yang kompetitif
Bank-bank syariah harus berjuang keras untuk memberikan bagi hasil yang kompetitif dengan memperhatikan efisiensi dan manajemen resiko yang cermat. Jika tingkat bagi hasil jauh dibawah bunga bank, maka sebagian kecil nasabah rasional-materialis akan kembali menarik dananya dari bank syari’ah. Namun bagi nasabah yang rasional-moralis, tingkat bunga tidak berpengaruh baginya untuk pindah ke bank konvensional. Apalagi nasabah spiritual, betapapun tingginya tingkat bunga, mereka tetap loyal menempatkan dananya di bank syariah.
10.Reorientasi ke Sektor Riil
Perhatian perbankan syari’ah kepada pengembangan sektor riel harus lebih diutamakan, mengingat realita pertumbuhan lembaga keuangan syari’ah selama ini begitu pesat, tetapi tidak seimbang dengan pengembangan sektor riel. Dalam ekonomi Islam, pengembangan sektor keuangan harus terkait erat dengan sektor riel syari’ah, karena itu, pengembangan perbankan syari’ah harus mendukung gerakan ekonomi Islam di sektor riel, seperti kegiatan produksi dan distribusi yang dilakukan Ahad-net, MQ-Net, hotel Sofyan syari’ah, super market, agribisnis, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan gerakan usaha sektor lainnya. Orientasi pengembangan ekonomi Islam melalui sektor keuangan harus diimbangi dengan pengembangan sektor riel. Kepincangan dua aspek ini akan menimbulkan bahaya dan malapetaka ekonomi Islam di masa depan dan hal ini merupakan kegagalan dan kehancuran ekonomi Islam.
Pengembangan sektor riel syari’ah harus menjadi perhatian yang serius bagi perbankan syari’ah. Pembiayaan melalui produk murabahah, sesungguhnya tidak signifikan mengembangkan sektor riel, karena bentuknya dominan konsumtif.
Penutup
Apabila bank-bank syariah memperhatikan dan menerapkan 10 pilar tersebut, maka perbankan syari’ah akan menjadi perbankan nasional yang tangguh, terpercaya, di samping besar assetnya (market share) nya. Sebagai kesimpulan, bank-bank syariah perlu melakukan konsolidasi baik dari sisi internal maupun eksternal bank. Konsolidasi internal dilakukan dengan cara secara istiqamah menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap prinsip syari’ah, penguatan internal control dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada nasabah. Sedangkan konsolidasi eksternal berupa peningkatan kerjasama dan konsolidasi dengan institusi terkait dan peningkatan kualitas pelaksanaan good corporate govarnance sebagai bagian dari upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional.by Agustianto.

Peran Negara dalam Ekonomi Islam

Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, dunia Islam mempunyai sistem perekonomian yang berbasiskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip syariah yang bersumber dari Al Quran dan Hadits serta dilengkapi dengan Al Ijma dan Al Qiyas. Sistem perekonomian Islam, saat ini lebih dikenal dengan istilah Sistem Ekonomi Syariah. Berdasarkan beberapa literatur dapat disimpulkan, bahwa Sistem Ekonomi Syariah mempunyai beberapa tujuan, yakni: 1. Kesejahteraan Ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (dasar pemikiran QS. Al-Baqarah ayat 2 & 168, Al-Maidah ayat 87-88, Al-Jumu’ah ayat 10); 2. Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid, berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang universal (Qs. Al-Hujuraat ayat 13, Al-Maidah ayat 8, Asy-Syu’araa ayat 183) 3. Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (QS. Al-An’am ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32); 4. Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial (QS. Ar-Ra’du ayat 36, Luqman ayat 22). Salah satu teori ekonomi syariah yang dikembangkan oleh ahli pemikir Islam, Ibnu Khaldun, berupa sebuah rumusan berupa kebijaksanaan politik pembangunan, mungkin, dapat diaplikasikan dalam perkembangan Ilmu Ekonomi Islam saat ini. Rumusan Ibnu Khaldun tersebut dikenal sebagai “Dynamic Model of Islam” atau Model Dinamika. Model Dinamika adalah sebuah rumusan yang terdiri dari delapan prinsip kebijaksanaan politik yang terkait dengan prinsip yang lain secara interdisipliner dalam membentuk kekuatan bersama dalam satu lingkaran sehingga awal dan akhir lingkaran tersebut tidak dapat dibedakan, terdiri atas: 1. Kekuatan pemerintah tidak dapat diwujudkan kecuali dengan implementasi Syariah; 2. Syariah tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan pemerintahan; 3. Pemerintah tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali dari rakyat; 4. Masyarakat tidak dapat ditopang kecuali oleh kekayaan; 5. Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali dari pembangunan; 6. Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui keadilan; 7. Keadilan merupakan standar yang akan dievaluasi Allah pada umat-Nya; 8. Pemerintah dibebankan dengan adanya tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan. Masyarakat dalam sebuah pemerintahan sesuai kodratnya merupakan manusia yang lebih suka hidup secara bersama. Hal ini disebabkan dengan kapasitas individu yang ada, manusia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok guna mempertahankan kehidupan mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka sangat membutuhkan suasana kehidupan yang saling menolong dan bekerjasama. Akan tetapi, mereka tidak dapat hidup berdampingan dan bekerjasama dengan yang lain dalam suasana penuh konflik dan permusuhan serta ketidakadilan. Untuk itu diperlukan adanya sebuah “rasa kebersamaan” dan “pemerintah” sebagai pengendali kekuasaan untuk mencegah terjadinya konflik dan ketidakadilan guna mempersatukan mereka. Dalam ajaran welfare state Islami, mengupayakan agar setiap orang mengikuti ajaran Syariah dalam urusan duniawi mereka merupakan hal yang penting. Negara harus tetap mengawasi semua tingkah laku yang dapat membahayakan pembangunan sosial ekonomi seperti ketidakjujuran, penipuan, dan ketidakadilan sebagai prasyarat kualitas yang dibutuhkan untuk keharmonisan sosial dan pembangunan berdasarkan keadilan. Selain itu, negara harus menjamin pemenuhan hukum dan menghormati hak milik individu serta menanamkan kesadaran kepada seluruh lapisan masyarakat. Apabila pemerintah melaksanakan peranannya secara efektif, maka akan menjadi sebuah kontribusi positif dalam pembangunan karena kebutuhan masyarakat akan terpenuhi, sehingga mereka akan termotivasi melalui kerja keras yang cermat dan efisien. Namun, jika hal itu tidak terlaksana, maka yang terjadi adalah kehancuran. Sumber daya yang dibutuhkan negara untuk kepentingan itu, diperoleh melalui sistem pajak yang adil dan efisien. Di samping itu, perlu dicermati bahwa apabila, jika pemerintah tidak menerapkan nilai-nilai syariah secara efisien, maka tidak akan ada keadilan. Jika tidak ada keadilan, maka “rasa kebersamaan” tidak akan ada, dan jika tidak ada “rasa kebersamaan”, maka tidak akan ada lingkungan yang mendukung terlaksananya implementasi Syariah, hukum dan perundang-undangan, pembangunan dan kemakmuran. Ketiadaan semua itu, akan membuat administrasi pemerintah menjadi lemah dan tidak efektif. Konsep Ibnu Khaldun dalam “Model Dinamika” menyatakan bahwa negara harus berorientasi kepada kesejahteraan rakyat, memiliki kebijakan anggaran, menghargai hak milik masyarakat, dan menghindari pungutan pajak yang memberatkan. Negara akan mengutamakan pembangunan melalui anggaran yang dihasilkan dari kebijakan yang adil, dan sebaliknya negara akan menghambat pembangunan dengan memperlakuan sistem pajak dan kebijakan yang tidak adil. Negara merupakan suatu pasar terbesar yang dihasilkan dari anggaran negara tersebut untuk kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu, negara tidak perlu terlibat secara langsung sebagai pelaku pasar, namun harus melakukan hal-hal yang dapat membantu masyarakat menjalankan usaha mereka secara lebih efisien dan mencegah masyarakat untuk melakukan tindakan yang tidak adil secara berlebihan. Menurut David C. Korten dalam The Post-Corporate World; Life After Capitalism (1999) dan Joseph E. Stiglitz dalam Globalization and Its Discontents (2002), pasar yang berhasil, mensyaratkan adanya keseimbangan peran antara pemerintah dan pasar. Keseimbangan tersebut mungkin berbeda dari satu negara dengan negara lain dan dari waktu ke waktu, juga antara satu sektor dengan sektor lainnya, serta dari satu masalah dengan masalah lain. Tercapainya keseimbangan itu mensyaratkan adanya kejelasan mengenai apa yang harus dilakukan oleh masing-masing dan bagaimana cara melakukannya. Intervensi pemerintah diperlukan untuk memastikan bahwa kepentingan publik juga terperhatikan. Namun keadaan sebaliknya terjadi pada saat ini. Era ekonomi baru dengan rezim perdagangan bebas, mengharuskan minimalisasi peran pemerintah suatu negara dalam mengatur perekonomian suatu negara. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang ikut campur dalam perekonomian dianggap telah menghambat pasar bahkan laju perekonomian. Dengan demikian, deregulasi dianggap sebuah kewajiban bagi rezim perdagangan bebas. Para penyokong rezim perdagangan bebas, mempromosikan, mengurangi regulasi berarti membiarkan kekuatan pasar bekerja. Kekuatan pasar akan menghasilkan lebih banyak efisiensi. Manfaat kekuatan pasar, melalui kompetisi, akan mengalir langsung ke konsumen dan masyarakat luas. Dengan demikian, menurut mereka, perlu dilakukan deregulasi-deregulasi perekonomian, termasuk sektor-sektor strategis yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Deregulasi-deregulasi yang dilakukan secara otomatis mengurangi peran pemerintah dalam mengatur perekonomian yang dibutuhkan oleh semua golongan. Pihak yang diuntungkan terutama golongan pemilik modal atau eksekutif korporasi global. Para penganjur deregulasi, yakin bahwa semakin ramping pemerintahan dan semakin rendah tarif pajak akan semakin baik bagi perekonomian. Menurut mereka, uang yang dibelanjakan oleh pemerintah umumnya terbuang mubazir, sedangkan jika digunakan oleh sektor swasta akan termanfaatkan dengan baik. Pandangan yang menyetujui peran minimalis pemerintah didasari oleh sebuah ideologi simplistic yang dikenal sebagai “fundamentalisme pasar”. Secara umum ideologi ini menyatakan bahwa pasar dengan sendirinya stabil dan efisien. Akan tetapi ideologi tersebut tanpa landasan teori ekonomi yang dapat diterima. Pasar yang stabil dan efisien akan terwujud, menurut teori, jika ada informasi yang sempurna, kompetisi sempurna, pasar yang lengkap, dan lainnya yang tidak pernah ada di negara paling maju sekalipun. Kenyataan yang terjadi, adalah, pasar seringkali tidak berjalan baik. Pasar sering menyebabkan terjadinya pengangguran. Pasar tidak bisa dengan sendirinya memberikan jaminan terhadap berbagai risiko penting yang dihadapi perorangan, termasuk risiko menganggur. Pasar adalah alat untuk meraih tujuan, terutama, standar hidup yang lebih tinggi. Pasar bukanlah tujuan itu sendiri, sehingga langkah-langkah kebijakan yang digencarkan seperti privatisasi dan liberalisasi, janganlah dipandang sebagai tujuan, melainkan sebagai alat. Menurut Stiglitz, meskipun tujuan pasar itu sempit (hanya menyangkut kesejahteraan material, bukan nilai-nilai keadilan sosial), pasar bebas seringkali gagal mencapai tujuan-tujuan yang sempit sekalipun. Era 1990-an menunjukkan pasar tidak bisa menjamin stabilitas, sementara pada era 1970-an dan 1980-an, pasar tidak bisa menimbulkan pertumbuhan tinggi, bahkan kemiskinan meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Awal-awal millennium, menunjukkan kondisi bahwa pasar bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai untuk menampung pendatang baru dalam angkatan kerja. Namun lebih dari yaitu, yakni juga tidak mampu mengimbangi berkurangnya pekerjaan yang ada akibat meningkatnya produktivitas. Pengangguran menunjukkan kegagalan pasar yang paling dramatis sebab menjadikan sumber daya yang paling berharga menjadi mubazir. Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Minggu, 13 Juli 2008

Kultur Regional

Di samping kondisi-kondisi strukural, kepentingan-kepentingan politik dan keyakinan-keyakinan agama, sangat perlu untuk mempertimbangkan pengaruh kultur-kultur regional dalam kewarganegaraan demokratis Indonesia. Nilai-nilai dan praktik-praktik lokal memiliki pengaruh besar secara formal dan informal terhadap kegiatan-kegiatan sehari-hari pemerintah dan non-pemerintah. Tribalisme yang dipolitisir bisa saja menjadi batu sandungan dalam pengembangan ke arah suatu ‘kultur nasional’ jika orang-orang dari etnis dan keyakinan religi yang berbeda tidak bekerja sama (Koentjaraningrat 1974). Kultur-kultur dan praktik-praktik lokal dapat saja melongsorkan kohesi sosial dan identitas nasional, dan pada gilirannya semangat demokrasi modern.
Salah satu tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini adalah bagaimana menyingkapi proses global yang mewarnai kehidupan pasca-kolonial. Perkembangan pesat teknologi informasi, bioteknologi, nano-teknologi, perubahan tatanan politik dunia, pertumbuhan penduduk dan eskalasi kerusakan ekologi, meluasnya mobilitas sosial, kapital, gagasan dan ilmu pengetahuan, terus bergulir dan melintas batas-batas negara di era globalisasi. Indonesia pasca-kolonial, yang sebagian penduduknya masih hidup dalam kultur rural dan/atau primordial vis-à-vis kultur korporasi (Soemardjan 2000), dituntut untuk dapat menghadapi perbedaan-perbedaan orientasi nilai-nilai secara dialogis, cerdas dan berjangka panjang.
Demikian juga, sikap mental yang dapat menghambat kemajuan yang ditunjukkan Koentjaraningrat (1974) hampir empat dasawarsa lalu sebagai kemunduran dalam aspek sosial-budaya akibat kolonialisasi, perlu mendapat perhatian serius. Sikap mental ini antara lain: meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak bersiplin murni dan tidak bertanggung jawab yang kokoh. Sikap mental ini boleh jadi ikut menyumbangkan pelbagai ketidak-ajeg-an dan ekses beberapa dasawarsa terakhir yang semakin meluas di masyarakat, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, prasangka (buruk), kambing hitam, adu-domba, mentang-mentang (dumeh), pamrih, mumpung, tidak mau mengakui kekurangan, kesalahan dan kekalahan.

Islam dan Masyarakat Madani

"Islam dan Civil Society"
Banyak sarjana telah mengidentifikasikan Islam sebagai salah satu pengaruh dalam pembentukan karakter negara dan masyarakat Indonesia pasca-kolonial (Benda 1958; Geertz 1968 1960; Hefner 2000, 1998, 1997; Lev 1972; Samson 1978). Sejak formulasi Pancasila sebagai dasar ideologis negara, perspektif dan ajaran Islam telah mempengaruhi perilaku politik dan nilai-nilai sosial masyarakat (periksa, misalnya, Yamin 1959). Pelbagai perdebatan pun masih berlangsung hingga kini di kalangan intelektual dan pemuka agama Islam di Indonesia tentang bagaimana bangsa Indonesia harus ‘memaknai’ dan ‘membangun’ negara Indonesia modern. Dua dasawarsa terakhir terjadi perubahan-perubahan signifikan pendekatan dalam menerapkan ajaran Islam oleh kaum intelektual Muslim di Indonesia.
Sebagai contoh, Muhammad A.S. Hikam (2000:222-226) mengidentifikasi tiga arus utama. Yang pertama adalah kaum intelektual yang menganggap Islam sebagai sebuah Pandekatan Alternatif. Bagi mereka, Islam dilihat sebagai sistem-nilai yang lengkap, yang seharusnya diterapkan sebagai alternatif untuk sistem (kewarganegaraan) yang ada. Penerapan pendekatan ini menuntut perubahan struktural, seperti yang dilakukan Ayatollah Khomeini di Iran dan Zia-ul Haq di Pakistan, mencakup pendirian bank-bank dan sistem-sistem legal Islam, penerapan gaya-hidup Islam untuk mensterilkan perilaku sosial dan menolak pengaruh-pengaruh non-Islam. Ini berarti kecenderungan menciptakan eklusifitas dan sektarian. Menurut Hikam, penekanan prinsip-prinsip formalistik dan legalistik Islam dapat membahayakan heterogenitas masyarakat Indonesia. Di Indonesia, sejumlah orang dan kelompok mengajukan implementasi prinsip-prinsip Islam untuk melawan tidak adanya atau kurangnya kepatuhan kepada hukum baik oleh elit maupun orang biasa. Di antara kaum intelektual yang masuk dalam kategori ini adalah Imaduddin A.R., A.M. Saefuddin dan Amien Rais.
Arus kedua terdiri dari mereka yang ingin menerapkan Pendekatan Kultural dalam proses penyebaran nilai-nilai Islam melalui modernitas dan pencerahan dalam komunitas Islam (umat). Landasan pendekatan ini adalah rasionalitas dan kontekstualitas pengajaran Islam melintas waktu dan ruang. Modernitas harus dilaksanakan dengan bernapaskan Islam, tetapi pendekatan yang kaku dalam penerapan standar-standar Islam perlu ditolak. Pendekatan kultural ini menarik simpati mereka yang suka dengan kehidupan modern yang bernapaskan nilai-nilai Islam, terutama kalangan menengah dan menengah ke atas kaum Muslim. Bagi Hikam, pendekatan ini mengabaikan kebutuhan perubahan structural untuk mengakomodasi keadilan dan kesetaraan dalam kontek Islam. Pendekatan ini terutama berpusat pada pemikiran dan kegiatan Nurcholish Madjid.Kelompok ketiga mengambil Pendekatan Transformasi Sosio-kultural. Para intelektual ini menerima keharusan Islam sebagai suatu pendekatan kultural, tetapi bukan sebagai alternatif tunggal. Islam dapat berkembang lebih baik bila berkompelemnt dengan agama dan ideologi lain. Islam perlu membawa transformasi nilai-nilai yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan modern, khususnya kalangan miskin dan kurang berpendidikan. Islam harus memainkan peran dalam perubahan structural dalam masyarakat dengan mengembangkan nilai-nilai demokratis (Syura), egaliterianisme, kebebasan, dsb. Pendekatan ini bertujuan memberdayakan mereka yang ‘tidak berdaya’ (mustadh’afin) baik dalam kalangan Muslim maupun non-Muslim. Kaum intelektual yang masuk dalam kategori ini, seperti Abdurrahman Wahid, Moeslim Abdurtahman dan Djohan Effendi, meyakini bahwa mereka perlu bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan sosial manapun yang bertujuan memperbaiki struktur-struktur dan kondisi-kondisi sosial. Agenda utama mereka mencakup demokrasi akar-rumput, pemberdayaan politik, dan perbaikan ekonomi dan pendidikan.
Pelbagai perspektif Islam dalam pemaknaan Indonesia modern tersebut di atas membawa kita kepada ihwal sekuralisasi dan civil society. Sekularisasi dalam konsep negara-bangsa modern menekankan supremasi dan teknologi (rasio daripada keyakinan agama) dan sering dilihat sebagai melongsorkan keyakinan agama. Bila, sebagaimana disinyalir Ernest Gellner (1994:xi) bahwa, ‘tesis sekularisasi tidak diterapkan dalam Islam’, maka konsep negara-bangsa tidaklah konsisten dengan Islam. Konsep negara dalam Islam, dawlah, tidak mengimplikasikan suatu negara-bangsa dan pemisahan kekuasaan, tetapi ia mengimplikasikan kekuasaan berada dalam dinasti dari sebuah monarki, malik, sultan atau syah, dalam tradisi Arab. Negara dinastik atau monarki (raj) adalah sebuah ‘Dawlah Islamiyyah’, dan legitimasinya berasal bukan dari konstitusinya, tetapi keyakinan Islamik pemimpinnya (Schumann 1999). Konsep negara-bangsa telah lama menjadi problem bagi para pemimpin dan intelektual Islam. Islam mengakui persaudaraan Islam, Ukhuwwah Islamiyyah, dan menolak tribalisme dan nasionalisme Barat sebagai sesuatu yang tidak bersesuai (divisive).
Sehubungan dengan perspektif persaudaraan Islam, kita melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menunjukkan Indonesia adalah negara-bangsa modern, yang mengakomodir keanekaragaman kultural yang condong kepada semangat kekeluargaan daripada individualisme dan liberalisme Barat modern. Banyak sarjana dan pemimpin Muslim Indonesia tampaknya setuju dengan Nurcholish Madjid yang menegaskan bahwa ‘Kami sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh domensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa’ (Madjid 1987:187).
Diskusi tentang suatu civil society Indonesia yang menunjukkan suatu ruang publik yang bebas dari pengaruh keluarga dan negara dimulai pada akhir 1980an, tetapi itu terjadi di Monash University di Australia, dan bukan di Indonesia. Almarhum Profesor Herberth Feith, seorang Indonesianis yang dihormati, mengundang sejumlah intelektual Indonesia ke sebuah seminar. Yang paling menonjol adalah Profesor Arief Budiman. Tema seminar dan judul dimana makalah-makalahnya disajikan menyangkut kapitalisme Orde Baru, korporatisme dan negara totaliter. Hanya artikel Arief Budiman yang memberikan suatu paparan umum tentang isu-isu civil society (Rahardjo 1999; Budiman 1990).
Sejak itu, para sarjana dan intelektual Muslim di Indonesia mulai membahas masyarakat madani. Perlu dicatat bahwa beberapa sarjana Muslim lebih senang menggunakan ‘civil society’ sebagaimana dilahirkan dalam tradisi Barat, dan sebagian lagi menggunakan masyarakat madani. Menurut Schumann (1999), lazimnya madinah merujuk kepada suatu tempat dimana din (agama) dimuliakan, khususnya pada zaman Nabi Muhammad. Oleh karena itu, mustama madani atau masyarakat beradab memberikan tempat kepada mereka yang bukan Islam tetapi yang hidupnya ‘tertib’. Ketika ihwal masyarakat madani diperdebatkan, umumnya dipahami sebagai sebuah utopia, masyarakat yang diidealkan yang bebas dari intervensi negara, dan diharapkan dapat membawa keadilan kepada masyarakat Indonesia secara umum. Civil society diperlukan agar demokrasi dapat berhasil karena ia mempromosikan asosiasi volunter (voluntary association), toletansi, kesetaraan, keterbukaan dan hak-hak asasi manusia.

Senin, 07 Juli 2008

Standarisasi Kurikulum Ekonomi Islam

standarisasi kurikulum ekonomi islam
Ditulis pada Desember 2, 2007 oleh iqtishaduna
STANDARISASI KURIKULUM EKONOMI ISLAM Keterangan :Oleh : Agustianto
Perkembangan yang cepat dari industri keuangan dan perbankan syariah saat ini membutuhkan Sumber Daya Insani (SDI) profesional dan berkulitas yang mampu mengetahui tidak hanya tataran konseptual tetapi juga pada tataran praktis tentang ekonomi keuangan Islam tersebut. Kebutuhan akan Sumber Daya Insani tersebut, sampai saat ini belum diimbangi dengan supply SDI yang memadai.Pada tataran teoritis dan konseptual, kita masih merasakan sangat kekurangan pakar yang benar-benar mendalami sekaligus ilmu ushul fikh, fikih muamalah dan ilmu ekonomi keuangan. Figur seperti ini benar-benar langka bukan saja bagi masyarakat Islam di Indonesia melainkan juga di banyak negara termasuk negara lain yang perkembangan ekonomi Islamnya cukup pesat.Kebanyakan adalah para pakar ekonomi yang fasih berbicara tentang ilmu ekonomi tetapi awam dalam ushul fiqh atau fiqh muamalah. Sebaliknya banyak pakar yang mahir dalam Fikih dan Usul Fiqh tetapi buta tentang Ilmu Ekonomi. Persoalan ini memang bukan hanya persoalan akademik yang pemecahannya harus melibatkan perubahan dalam pengembangan kurikulum dan silabi pengajaran Ekonomi Islam, akan tetapi juga persoalan-persoalan birokrasi dan political will, termasuk di dalamnya sistem pendidikan yang ada.Ketika menjadi persoalan akademik, maka peran perguruan tinggi menjadi sangat penting dalam pemecahannya. Untuk menghasilkan sumber daya insani yang berkualitas dan professional, perguruan tinggi tidak saja dituntut menyiapkan pengembangan kurikulum dan perumusan silabi yang tepat dan memadai, tetapi bagaimana output lulusannya memiliki basis kompetensi yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar.Dengan adanya perubahan-perubahan yang cepat dalam industri lembaga keuangan Islam yang merupakan bagian integral dari sistem ekonomi Islam itu sendiri, sudah seyogyanya institusi perguruan tinggi harus mempersiapkan output lulusan yang mampu menjawab tantangan ini. Lulusan perguruan tinggi harus memiliki kualitas yang memenuhi kualifikasi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan industri keuangan Islam saat ini.Untuk menjawab tantangan kemajuan ekonomi dan keuangan Islam tersebut, beberapa perguruan tinggi telah membuka program studi ekonomi Islam. Untuk tingkat S1, misalnya STAIN Batusangkar dengan Prodi Muamalah (Ekonomi Islam), UII Yogyakarta, IAIN Medan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, STAIN Cirebon, Uhamka, UNISBA, Universitas Wahid Hasyim, dll. Selain itu itu telah banyak pula berdiri Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) seperti STIS Yogyakarta, STEI SEBI Jakarta, STEI Tazkia Bogor, dan lain-lain. Perguruan Tinggi tersebut telah berupaya menyediakan kurikulum ekonomi Islam untuk level program studi sarjana S-1.Untuk tingkat Pascasarjana (S-2 dan S-3) beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta yang membuka Ekonomi Islam antara lain, STAIN Batusangkar dengan Prodi Muamalah (Ekonomi Islam) yang sudah ter Akreditasi B dari BAN-PT, Universitas Indonesia (UI), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Trisakti, UII Jogyakarta, UIN Jakarta, IAIN Medan, UIN Bandung, UIN Pekanbaru, Universitas Islam Jakarta, Universitas Paramadina, Universitas Asy-Syafi’iyah, IAIN Jambi, dan banyak lagi yang tidak disebutkan di sini.Langkah yang diambil beberapa perguruan tinggi tersebut tentu saja merupakan hal yang sangat positif di tengah ketiadaan upaya secara sistematis dari pemerintah, khususnya yang menangani pendidikan tinggi, baik Diknas maupun Depag Namun upaya pengembangan prodi atau konsentrasi ekonomi Islam secara terpisah (masing-masing) oleh seluruh Perguruan Tinggi tersebut menimbulkan perbedaan kurikulum yang diajarkan, padahal konsentarasinya atau prodinya sama, misalnya sama-sama perbankan syariah atau sama-sama program ekonomi islam di strata dua (S2). Jadi dalam hal ini belum ada kurikulum standar yang menjadi acuan bersama.Diduga keras bahwa penyusunan kurikulum ekonomi Islam oleh masing-masing perguruan tinggi secara sendiri-sendiri dilakukan berdasarkan latar belakang akademik para pengajarnya semata. Celakanya lagi, kurikulum tersebut kadang disusun oleh yang bukan ahlinya. Misalnya disusun oleh ahli pendidikan atau ahli ilmu sosial atau pemikiran Islam. Mereka sama sekali tidak mengetahui memahami ekonomi Islam.Kalau pun disusun oleh dosen yang bergelar sarjana ekonomi, program studi yang dibuat kurang diimbangi dengan penelitian dan analisis tentang kebutuhan kompetensi baik dari sudut perkembangan Ilmu Ekonomi maupun kebutuhan dari intsitusi ekonomi keuangan ekonomi Islam terhadap lulusan perguruan tinggi.Karena problem tersebut-lah, maka IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia) menggelar Simposium Kurikulum Nasional pada Februari 2005 yang lalu. Bagi IAEI, problem di atas sangat mendesak untuk diatasi. Hasil dan rekomendasi Simposium kurikulum Ekonomi Islam yang dilaksanakan IAEI tersebut perlu kembali disosialisasikan dan disebarkan, mengingat semakin banyaknya Perguruan Tinggi saat ini yang telah dan akan membuka program studi ekonomi Islam, baik D3, S1, S2 maupun S3. Dengan publikasi tulisan ini diharapkan perguruan tinggi-perguruan tinggi tersebut dapat meujuk kurukulum ekonomi islam yang telah dibahas oleh para pakar dua tahun yang lalu. Sehingga upaya pembukaan program studi ekonomi Islam menjadi lebih mudah, karena tersedianya kurukulum standar yang dinamis dan berbasis kompetensi.Dalam symposium kurikulum ekonomi Islam, tersebut IAEI melakukan kajian, komparasi dan analisis terhadap kurikulum beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Dari upaya ini tersusun-lah sebuah kurikulum nasional ekonomi Islam yang dapat menjadi acuan (standar) yang mampu menjawab tantangan dan kemajuan ekonomi Islam, yaitu kurikulum ekonomi Islam yang dinamis dan berbasis kompetensi.Untuk merumuskan kurikulum nasional ekonomi Islam yang standar yang bisa menjadi acuan perguruan tinggi tersebut, para pakar yang tergabung dalam IAEI baik dari kalangan akademisi maupun praktisi terlibat aktif pada momentum simposium tersebut. Dalam simposium itu telah dilakukan analisis komprehensif terhadap kurikulum ekonomi Islam melalui studi data primer dan studi data sekunder.Jadi, tujuan dilaksanakannya Simposium Kurikulum Nasional Ekonomi Islam ialah :1. Mengkaji Kurikulum yang dimiliki beberapa Perguran Tinggi (PT) dengan cara melakukan studi komparatif dan analisis terhadap isi kurikulum.2. Melakukan penyamaan persepsi tentang kurikulum ekonomi Islam yang dibutuhkan.3. Mencari dan membentuk kurikulum ekonomi Islam berbasis kompetemsi yang dinamis yang menjadi acuan secara nasional.
MetodologiKajian kurikulum ini dilakukan dengan analisis yang dianggap layak untuk memberikan gambaran adanya kebutuhan sebuah kerangka kurikulum Nasional ekonomi Islam yang dapat menjadi acuan yang jelas bagi perguruan tinggi. Selain itu ruang lingkup kajian juga memperhatikan setiap fakta dan kondisi yang berkembang baik dari perguruan–perguruan tinggi yang ingin membuka konsentrasi dan program studi ekonomi Islam, maupun pihak lain seperti industri keuangan Islam, dan para mahasiswa yang nantinya akan terjun langsung mengambil bagian dalam perkembangan ekonomi Islam ke depan.Penelitian awal ini menggunakan metode Metodologi Constructed Logic dengan menggabungkan penggunaan metode studi komparatif dan analisis isi (kurikulum) dimana ruang lingkup kajian masih sebatas analisis dan penggunaan data sekunder. Walaupun demikian metode ini cukup layak dalam memberikan sebuah gambaran awal akan adanya kebutuhan yang mendesak terhadap realisasi dan tujuan yang ingin dicapai.Adapun sistematika kajiannya adalah:1. Studi Literatur, melalui berbagai buku bacaan dan analisis hasil lokakarya kurikulum yang pernah dilaksanakan sebelumnyaa. Lokakarya Kurikulum Ekonomi Syariah yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi UI bekerjasama dengan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) di FEUI Depok.b. Seminar Program Studi Ekonomi Islam di PTAI yang diselenggarakan STEI Tazkia bekerjasama dengan Ditperta Depag di Jakarta2. Melakukan studi komparatif antara kurikulum yang ada di berbagai PT melalui Lokakarya. Lokakarya ini sendiri dilakukan dengan sistematika tahapan:a. Mendengar pandangan ahli (akademisi dan praktisi) tentang pentingnya standarisasi kurikulum yang dinamis dan berbasis kompetensi.b. Sidang Komisi. Agar lebih terfokus dalam pembahasannya, sidang komisi dibagi menjadi 2 bagian yaitu komisi A untuk membahas kurikulum Program Diploma dan Sarjana (D-3 dan S-1), dan komisi B yang membahas kurikulum Program Pascasarjana (S-2 dan S-3).c. Sidang Panel. Sidang panel dilakukan untuk penyeragaman, pemahaman dan persepsi dari hasil-hasil yang diperoleh dari sidang komisi.
Hasil Simposium dan RekomendasiHasil symposium kurikulum ekonomi Islam tersebut ialah terumuskannya kurikulum ekonomi Islam yang dinamis, berbasis kompetensi dan diharapkan menjadi standar serta rujukan bagi perguruan tinggi yang ingin membuka program Studi Ekonomi Islam, baik D3, S1, S2, maupun S3Simposium kurukulum Ekonomi Islam tersebut merekomendasikan tiga poin penting :1. Perlunya dukungan pemerintah dalam menindak-lanjuti upaya IAEI dalam penyusnan kurukulum yang berbasis kompetensi dan dinamis, antara lain dalam penyempurnaan penelitian kurukulum ini.2. Kemungkinan pemberian wewenang kepada IAEI sebagai institusi yang mengkaji kelayakan terhadap pembukaan program studi ekonomi Islam di perguruan tinggi dalam rangka membantu pemerintah yang berwenang menangani Perguruan Tinggi. Hal ini dikarenakan IAEI merupakan himpunan para pakar ekonomi Islam yang dapat melahirkan pemikiran-pemikiran komprehensif tentang penyempurnaan kurikulum ekonomi Islam. Sedangkan otoritas masih tetap di pihak Dikti DIKNAS dan Depag, tetapi keputusan-keputusan mereka dilakukan atas saran dari IAEI.3. Perlunya mengadakan seminar kurikulum lanjutan baik secara internasional maupun nasional yang membahas secara detail kurikulum untuk D3, S1, S2 dan S3.
PenutupSaat ini hasil symposium tersebut telah dijadikan rujukan oleh banyak perguruan Tinggi di Indonesia, baik D3, S1, S2 maupun S3. Hasilnya juga telah diserahkan ke Departemen Agama Republik Indonesia agar menjadi pertimbangan dan masukan bagi pemerintah. Ke depan, Departemen Diknas (DIKTI) harus juga menerima hasil symposium symposium tersebut, mengingat DIKTI selaku pemerintah, memainkan peran yang sangat strategis dalam pengembangan pendidikan ekonomi Islam di Indonesia.Selanjutnya, pemerintah hendaknya kembali menggelar seminar kurkulum ekonomi Islam yang lebih komprehensif dan mendalam agar lebih match dengan kebutuhan pasar yang semakin berkembang pesat. Selain itu, dari seminar tersebut diharapkan peran pemerintah (dalam hal ini DIKTI Diknas) lebih berperan dalam mendukung studi ekonomi Islam di Perguruan Tinggi, tidak saja dalam penyediaan kurukulum yang standar, tetapi juga kemudahan dalam pemberian izin pembukaan program studi atau konsentrasi ekonomi Islam serta melahirkan dosen-dosen ekonomi Islam yang berkualitas.(Penulis adalah sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana UI, Trisakti, UIN dan Universitas Paramadina)

Rabu, 02 Juli 2008

MUAMALAH (EKONOMI ISLAM)

MUAMALAH atau lebih di kenal dengan Ekonomi Islam, adalah merupakan Prodi (Program Studi) di STAIN Batusangkar, disini tempat mencetak pemikir-pemikir muda mengenai Ekonomi Islam, diharapkan disini akan lahir para pejuang-pejuang Ekonomi Islam khususnya ahli-ahli Perbankan Syariah dengan konsep-konsep yang betul-betul murni Syariah. Insya Allah.

Minggu, 29 Juni 2008

Probematika Operasionaliasi BMT

BMT (Baitul Maal Wa Tamwil) merupakan salah satu model lembaga keuangan syariah paling sederhana yang saat ini banyak muncul dan tenggelam di Indonesia. Keberadaan BMT dengan jumlah yang signifikan pada beberapa daerah di Indonesia tidak didukung oleh faktor-faktor pendukung yang memungkinkan BMT untuk terus berkembang dan berjalan dengan baik. Fakta yang ada di lapangan menunjukkan banyak BMT yang tenggelam dan bubar.
Beberapa data menunjukkan di daerah-daerah tertentu keberadaan BMT cukup memperihatinkan. Seperti di Kabupaten Ciamis pada tahun 2000 jumlah BMT mencapai 42 buah. Namun, sekarang yang tersisa hanya tujuh buah. Di daerah Tasikmalaya yang pernah mencapai 50 buah lebih, kini BMT tersisa 12 buah. Jumlah sebanyak 12 BMT yang masih ada yaitu di Kabupaten Tasikmalaya lima buah dan Kota Tasikmalaya tujuh buah. Begitu juga di Kabupaten Garut dan Sumedang, kondisinya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Tasikmalaya atau Ciamis. Hal serupa juga terjadi di kota Bandung, keberadaan BMT sebagai badan penunjang dana bagi masyarakat ekonomi lemah terancam bangkrut. Dari 32 BMT MUI, kini jumlahnya makin menciut tinggal 8 BMT saja yang masih beroperasi. Bahkan, BMT yang memiliki aset sekitar Rp 1,3 miliar itu juga menghadapi masalah kredit macet (www.pikiran-rakyat.com). Ditambah lagi dengan pernyataan Pusat Inkubasi Usaha Kecil (Pinbuk) bahwa BMT pada akhir 1997 berjumlah 1.501 buah mengalami perkembangan yang tidak terlalu bagus, bahkan ada BMT yang kemudian tumbang, gagal, rugi kemudian mati (http://www.msi-uii.net/).
Dengan melihat fenomena di atas perkembangan BMT dipandang belum sepenuhnya mampu menjawab problem real ekonomi yang ada di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, belum memadainya sumber daya manusia yang terdidik dan profesional, menyangkut manajemen sumber daya manusia dan pengembangan budaya serta jiwa wirausaha (entrepreneurship) bangsa kita yang masih lemah, permodalan (dana) yang relatif kecil dan terbatas, adanya ambivalensi antara konsep syariah pengelolaan BMT dengan operasionalisasi di lapangan, tingkat kepercayaan yang masih rendah dari umat Islam dan secara akademik belum terumuskan dengan sempurna untuk mengembangkan lembaga keuangan syariah dengan cara sistematis dan proporsional. Kompleksitas persoalan tersebut menimbulkan dampak terhadap kepercayaan masyarakat tentang keberadaan BMT diantara lembaga keuangan konvensional.
Padahal bila dilihat dari latar belakang berdirinya, BMT merupakan jawaban terhadap tuntutan dan kebutuhan kalangan umat Muslim. Kehadiran BMT muncul di saat umat Islam mengharapkan adanya lembaga keuangan yeng berbasis syariah dan bebas dari unsur riba yang dinyatakan haram. Eksistaensi lembaga keuangan syariah sejenis BMT, jelas memiliki arti penting bagi pembangunan ekonomi berwawasan syariah terutama dalam memberikan solusi bagi pemberdayaan usaha kecil dan menengah serta menjadi inti kekuatan ekonomi yang berbasis kerakyatan dan sekaligus menjadi penyangga utama sistem perekonomian nasional. Hal ini menunjukkan peranan BMT sangat berarti bagi masyarakat karena BMT merupakan suatu lembaga mikro syariah yang mampu memecahkan permasalahan fundamental yang dihadapi oleh pengusaha kecil dan menengah khususnya di bidang permodalan. BMT tidak hanya befungsi dalam penyaluran modal tetapi juga berfungsi untuk menangani kegiatan sosial.
Dilihat secara konsepsi, BMT merupakan suatu lembaga yang eksistensinya sangat dibutuhkan masyarakat terutama kalangan mikro. Akan tetapi di sisi lain yaitu dalam bidang operasionalya masih memiliki banyak kelemahan. Maka problematika tersebut harus dapat diatasi dengan baik agar mampu mewujudkan terciptanya citra positif bagi BMT sebagai lenbaga keuangan mikro syariah yang bersih serta dipercaya oleh masyarakat. Suatu BMT tetap harus memenuhi kriteria-kriteria layaknya sebuah bank syariah besar dengan beribu-ribu nasabahnya. Salah satu alasan sederhana adalah sebuah lembaga yang mengelola uang masyarakat, tentunya harus kredibel, dapat dipercaya oleh masyarakat. Siapapun pasti ingin dirinya diyakinkan bahwa uang yang dia simpan di suatu BMT aman dari resiko apapun dan setiap saat dapat mengambil uangnya kembali. 1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaiamana kritik dan solusi terhadap problemaika dan operasionalisasi BMT?

Agar pembahasan dapat fokus dan mencapai apa yang diharapkan, maka penulis membatasi permasalahan hanya pada probematika operasionaliasi BMT serta solusi untuk mengatasi permasalahan itu.
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu cara dalam mengatasi kendala-kendala pengembangan BMT sebagai lembaga keuangan mikro yang bebas bunga pinjaman dan efektif dalam memberdayakan potensi usaha kecil dan menengah yang pada umumnya kesulitan mengakses jasa lembaga keuangan formal (perbankan).
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:
1. Mengetahui problematika operasionalisasi BMT berdasarkan fakta yang ada.
2. Mengetahui solusi dalam memecahkan problematika operasionalisasi BMT.
Konsep Lembaga Keuangan Syariah
Lembaga keuangan syariah merupakan lembaga keuangan yang bekerja menurut konsep syariah dengan prinsip profit lost sharing sebagai metode utama.
Struktur lembaga keuangan syariah dikelompokkan menjadi bank umum syariah, BPR syariah, asuransi syariah dan Baitul mal wa tamwil (BMT). Adapun yang disebutkan diatas mempunyai produk dan pangsa pasar yang berbeda. Namun dari segi prinsip dan instrumen yang digunakan lembaga keuangan syariah yang telah disebutkan di atas tidak mempunyai perbedaan yang cukup mendasar hanya pada sekup wilayah operasionalnya saja.
Prinsip keuangan syariah memiliki aplikasi yang luas dalam suatu sitem perekonomian yang tidak hanya terfokus dalam sistem bagi hasil (profit sharing), tetapi juga secara sempurna menanamkan suatu kode etik (moral, sosial dan agama) dalam mempromosikan suatu keadilan dan kesejahtern bagi masyarakat luas. Tidak ada perbedaan prinsip diantara lembaga-lembaga keuangan syariah (Asuransi, Bank dan BMT ), karena secara umum lembaga-lembaga ini mengutamakan hubungan kemitraan (mutual investor relationship) yang berbasis utama skim bagi hasil.
Secara sederhana prinsip-prinsip lembaga keuangan syariah dalam menjalankan usahanya terdiri atas :
1. Pelarangan terhadap (suku bunga)
2. Karena dilarangnya sistem bunga, maka penyedia dana menjadi investor. Sehingga terdapat faktor uncertainty dalam bisnis maka Penyedia dana dan pengusaha harus membagi resiko bisnis dan juga tingkat pengembalian yang disepakati.
3. Uang bukan sebagai modal tetapi akan menjadi modal jika sudah dipindahtangankan / tukar dengan sumberdaya untuk melaksanakan aktivitas yang produktif sehingga uang disini diartikan sebagai konsep yang mengalir ( flow concept ).
4. Pelarangan terhadap perilaku spekulasi (Nursali dkk : 2004).
5. Prinsip ta’awun (tolong-menolong) yaitu prinsip saling membantu sesama dalam meningkatkan taraf hidup melalui mekanisme kerja sama ekonomi dan bisnis.
6. Prinsip tijaroh (bisnis) yaitu prinsip mencari laba dengan cara yang dibenarkan oleh syariah. Lembaga keuangan Islam harus dikelola secara profesioanal, sehingga dapat mencapai prinsip efektif dan efisien (Ridwan, 2004:115).
7. Disamping sebagai lembaga bisnis, lembaga keuangan syariah juga menjalankan fungsi sebagai lembaga sosial.
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah
Konsep Dasar Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) berasal dari dua kata yaitu Baitul Maal yang artinya lembaga keuangan berorientasi sosial keagamaan yang kegiatan utamanya menampung serta menyalurkan harta masyarakat yang berupa zakat, infaq dan sedekah (ZIS) berdasarkan ketentuan yang ditetapkan Al-Qur’an dan Sunnah Rosul-Nya. Sedangkan Baitul Tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan (simpanan) maupun deposito dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah melalui mekanisme yang lazim dalam dunia perbankan (Ilmi, 2002:65). Sehingga secara konsepsi BMT adalah suatu lembaga yang didalamnya mencakup dua jenis kegiatan sekaligus yaitu:
1) Kegiatan mengumpulkan dana dari berbagai sumber seperti: zakat, infaq dan shodaqoh serta lainya yang dibagikan/disalurkan kepada yang berhak dalam rangka mengatasi kemiskinan.
2) Kegiatan produktif dalam rangka nilai tambah baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang bersumber daya manusia. (Muhammad, 2000:106).
Sedangkan menurut Widodo dkk (1999:81) BMT merupakan lembaga yang terdiri atas dua kegiatan sekaligus, yaitu Baitul Maal dan Baitul Tamwil. Kegiatan baitul Maal dalam BMT adalah lembaga keuangan yang kegiatannya mengelolah dana yang bersifat nirlaba (sosial). Sumber dana diperoleh dari zakat, infaq dan sedekah, atau sumber lain yang halal. Kemudian, dana tersebut disalurkan kepada mustahik, yang berhak, atau untuk kebaikan. Sedangkan kegiatan Baitul Tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatannya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dan bersifat profit motive. Penghimpunan dana diperoleh melalui simpanan pihak ketiga dan penyalurannya dilakukan dalam bentuk pembiayaan atau investasi, yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’at.
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan kelompok swadaya masyarakat sebagai lembaga ekonomi rakyat yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dengan berdasar prinsip syariah untuk meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha kecil dalam upaya pengentasan kemiskinan ( saifudin A.Rasyid, http: \\ http://www.bmtlink.web.id/).
Berdasarkan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) adalah Suatu lembaga keuangan mikro syariah yang menggabungkan unsur profit motive dan unsur nirlaba (sosial) dalam kegiatan usahanya yang dijalankan sesuai dengan ketentuan syariah.
Sifat Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
BMT bersifat usaha bisnis, mandiri ditumbuhkembangkan secara swadaya dan dikelolah secara profesional. Aspek Baitul Maal, dikembangkan untuk kesejahteraan anggota terutama dengan penggalangan dana ZISWA (zakat, infaq, sedekah, waqaf dll) seiring dengan penguatan kelembagaan BMT.
Sifat usaha BMT yang berorientasi pada bisnis dimaksudkan supaya pengelolaan BMT dapat dijalankan secara profesional, sehingga mencapai tingkat efisiensi tertinggi. Aspek bisnis BMT menjadi kunci sukses mengembangkan BMT. Dari sinilah BMT akan mampu memberikan bagi hasil yang kompetitif kepada deposannya serta mampu meningkatkan kesejahteraan para pengelolahnya sejajar dengan lembaga lainnya.
Sedangkan aspek sosial BMT berorientasi pada peningkatan kehidupan anggota dan masyarakat sekitar yang membutuhka (Ridwan, 2004:129).

Prinsip Utama Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Teori pelaksanaan usaha BMT berpegang teguh pada prinsip utama sebagai berikut :
1. keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan mengimplementasikan pada prinsip-prinsip syari’ah dan muamalah islam ke dalam kehidupan nyata.
2. keterpaduan, yakni nilai-nilai spritual dan moral menggerakkan etika bisnis yang dinamis, proaktif, progresif, adil dan berakhlaq mulia.
3. Kekeluargaan, yakni mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Semua pengelolah pada setiap tingkatan, pengurus dengan semua lininya serta anggota, dibangun rasa kekeluargaan, sehingga akan tumbuh rasa saling melindungi dan menanggung.
4. Kebersamaan, yakni kesatuan pola pikir, sikap dan cita-cita antar semua elemen BMT. Antara pengelolah dan pengurus harus memiliki satu visi dan bersama-sama anggota untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial.
5. Kemandirian, yakni mandiri di atas semua golongan politik. Mandiri juga berarti tidak tergantung dengan dana-dana pinjaman dan ”bantuan” tetapi senantiasa proaktif menggalang dana masyarakat sebanyak-banyaknya.
6. Profesionalisme, yakni semangat kerja yang tinggi, yakni dilandasi dengan dasar keimanan. Kerja yang tidak hanya berorientasi pada kehidupan dunia saja, tetapi juga kenikmatan dan kepuasan ruhani dan akhirat. Kerja keras dan cerdas yang dilandasi dengan bekal pengetahuan yang cukup, keterampilan yang terus ditingkatkan serta niat dan ghirah yang kuat. Semua itu dikenal dengan kecerdasan emosional, spritual dan intelektual. Sikap profesionalisme dibangun dengan semangat untuk terus belajar demi mencapai tingkat standar kerja yang tertinggi.
7. Istiqomah, konsisten, konsekuen, kontinuitas/berkelanjutan tanpa henti dan tanpa pernah putus asa. Setelah mencapai suatu tahap, maka maju lagi ke tahap berikutnya dan hanya kepada Allah SWT kita berharap (Ridwan, 2004:130).
Teori Operasionaliasi BMT
Kegiatan yang dikembangkan BMT adalah:
1. Menggalang dan menghimpun dana yang dipergunakan untuk membiayai usaha-usaha anggotanya. Sumber dana BMT terdiri dari dana masyarakat, simpanan biasa, simpanan berjangka atau deposito dan melalui kerjasama dengan lembaga lain. Para pemyimpan akan memperoleh bagi hasil dengan mekanisme yang sudah diatur dalam BMT.
2. Menberikan pembiayaan kepada anggota sesuai dengan penilaian kelayakan yang dilakukan oleh pengelola BMT bersama anggotaa yang bersangkutan .
3. Mengelola usaha simpan-pembiayaan secara profesional sehingga kegiatan BMT dapat menghasilkan keuntungan yang dapat dipertanggungjawabkan.
4. Mengembangkan usaha-usaha di sektor riil yang bertujuan untuk mencari keuntungan dan menunjang usaha anggota.
Sedangkan sebagai fungsi sosial, BMT melakuakn kegiatan:
Memberikan bantuan berupa pinjaman untuk kegiatan non produktif.
Pembiayaan untuk belajar usaha diberikan kepada anggota yang sangat miskin dan mempunyai keinginan untuk memulai usaha.
Pendidikan dan bimbingan usaha kepada anggota.
Pendidikan dan bimbingan pemanfaatan hasil usaha yang diperoleh anggota agar benar-benar bermanfaat untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Pendidikan dan penyuluhan moral serta peningkatan kesejahteraan yang direncanakan secara sistematis dan terencana.
(Saifuddin A. Rasyid, http: bmtlink.web.id)
Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Bilqis Puspitasari (2005) tentang alternatif penyelesaian pembiayaan bermasalah pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah dalam hal ini adalah Baitul Maal wa Tamwil Maslahah Mursalah lil Ummah (BMT MUU) cabang Warung Dinoyo Pasuruan Jawa Timur dijelaskan bahwa ditemukan beberapa akar permasalahan mengenai pembiayaan pada BMT tersebut sehingga diperlukan tindakan solutif yang harus diambil.
Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa pembiayaan bermasalah adalah suatu kondisi ketika nasabah yang mendapatkan pembiayaan dari BMT tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan. Persoalan lain muncul terkait dengan pembiayaan bermasalah ini adalah tidak adanya hak bagi BMTuntuk melakukan penyitaan atau perampasan terhadap barang yang dijadikan agunan pada pembiayaan yang bermasalah, tanpa persetujuan dari pemilik sebagaimana yang bisa diakukan oleh bank konvensional. Hal ini dikarenakan penyitaan secara paksa bertentangan dengan tata cara muamalah berdasarkan syirkah. Lebih lanjut penelitian tersebut menawarkan solusi yaitu tata cara muamalah syirkah yang tidak diperbolehkan adalah perampasan agunan tetapi pengamanan dan penjualan agunan diperbolehkan atas kesepakatan bersama, sehingga harapannya akad lebih tegas dan jelas pada saat pertama nasabah mengajukan pembiayaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada tahun 2003 dengan judul Penerimaan Masyarakat atas keberadaan BMT MUI dilihat dari perilaku anggotanya di Sleman Yogyakarta, dengan jumlah respondennya 80 orang menyebutkan bahwa masyarakat mengenal BMT (37 orang) berasal dari BMT langsung, 2 orang dari koran atau selebaran dan promosi, 22 orang dari teman dan 4 orang dari saudara. Lebih dari Sekitar 47% responden menyatakan setuju dengan visi dan Misi BMT, 38% yang lain menyatakan setuju. Terhadap prinsip menghindari riba, 43,75% sangat setuju dan 45% setuju; terhadap sistem jual beli dan bagi hasil, 45% menyatakan sangat setuju, 37,5% menyatakan setuju. Terhadap produk BMT, 27,5% menyatakan sangat setuju, 48, 75% setuju. Artinya rata-rata responden setuju.
Penelitian di Magelang, menyatakan bahwa persepsi atau pandangan terhadap lembaga keuangan syari’ah adalah mampu menjadi alternatif lembaga keuangan konvensional. Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa masyarakat memilih lembaga keuangan syari’ah sebagai mitra adalah karena menerapkan syari’ah (40%), sedangkan sisanya memberikan usul akan memilih kalau didukung oleh profesionalitas yang sebanding dengan bank-bank konvensional. Dari 150 responden, 72% (41 responden) menyatakan setuju atas keberadaan BMT Kharisma di Kotamadya Magelang.
Namun demikian tidak sepenuhnya masyarakat memandang bahwa lembaga keuangan syariah mempunyai dampak positif terhadap perkembangan ekonomi. Hal ini dikarenakan terjadi kasus-kasus yang menorehkan tinta hitam pada perkembangan lembaga keuangan Islam. Misalnya, di daerah Kalimantan pernah didirikan Lembaga keuangan syari’ah yang modalnya diambil dari bank konvensional yang besar. Sekitar satu tahun kemudian lembaga tersebut kolaps dan pemiliknya tidak bertanggungjawab atas kredit macetnya. Pemilik dan penanggungjawab lembaga keuangan syariah tersebut melarikan diri.
Kasus-kasus tersebut, menurut pengamatan penulis tidak hanya terjadi sekali, namun terjadi berulang kali di tempat lain, seperti terjadi di kasus di Tegal, pada lembaga keuangan tersebut menerapkan sistem mudharabah muqayyadah fi an-nisbah bi al miyyah, yaitu asumsi perhitungan nisbah yang ditetapkan 2.5% berdasar jumlah pembiayaan yang dikelurkan, sehingga mekanisme ini menyerupai perhitungan bunga. Walaupun tidak separah seperti kasus di Kalimantan, namun hal tersebut mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap lembaga keuangan syariah, terutama tingkat kepercayaan masyarakat (http://www.msi-uii.net/).
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif (descriptive research) dengan pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data desriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang dan perilaku yang diamati, didukung dengan studi literatur atau studi kepustakaan berdasarkan pendalaman kajian pustaka berupa data dan angka, sehingga realitas dapat dipahami dengan baik (Moloeng, 1990:5). Pendekatan kualitatif juga menggumakan data yang dinyatakan secara verbal dan kualifikasinya bersiat teoritis (Nawawi, 1995:32).
Jenis data
Data dalam penelitian ini merupakan jenis data primer dan sekunder. Menurut Moleong (2000), data primer merupakan data yang diperoleh dengan cara berdiskusi tentang problematika operasionalisasi BMT di lapangan.
Data sekunder merupakan data yang berasal dari selain obyek yang diteliti. Data sekunder ini didapatkan dari artikel, literatur kepustakaan, jurnal-jurnal penelitian, media massa, arsip-arsip yang memiliki relevansi terhadap permasalahan yang dikaji.
Metode Pengumpulan data
Bertolak dari tujuan penelitian dari tujuan penelitian dan untuk mendapatkan data yang diperlukan maka penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data studi pustaka (library reseach). Adapun metode studi pustaka adalah suatu kegiatan untuk mencari data yang berkaitan dengan penelitian dengan cara membaca, menyimak dan memahami literatur-literatur yang ada. Baik berupa pustaka cetak maupun elektronik (data-data internet) (Nasir : 1999) serta melakukan tukar pikiran dengan orang yang memiliki kompetensi terhadap topik yang diangkat.
Manajemen Data
Manajemen data merupakan proses mengelola informasi dan data-data yang didapat di lapangan sehingga siap untuk dianalisis. Pengelolaan data dalam penulisan ini dilakukan dengan :
Pemilihan atau penyeleksian data-data yang relevan serta fokus pada pokok pada pokok permasalahan . Proses ini merupakan proses mengedit data (editing).
Pengklasifikasian data-data tersebut dalam ciri, masalah dan kebutuhan dari penelitian ini (pengkodean).
Merefleksikan data-data yang sudah diklasifikasi dan menelaahnya agar memudahkan analisis dan interprestasinya.
Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskriptif. Dari data-data yang diperoleh kemudian disusun berdasarkan aturan dan analisis sehingga mempermudah pembahasan masalah-masalah yang ada. Dengan metode ini, peneliti ingin mengungkap kompleksitas problematika operasionalisasi BMT di lapangan sebagai salah satu lembaga keuangan mikro yang berbasis syariah.
Kinerja Usaha Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Kinerja usaha BMT relatif rendah terutama diakibatkan oleh kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) dan terjadinya inefisiensi dalam pengelolaan usaha. Terjadinya NPL disebabkan faktor intern lembaga seperti ketidakmampuan menilai kelayakan proyek, adanya kelemahan dalam perikatan hukum, internal control yang tidak efektif, serta penyelewengan yang dilakukan oleh oknum pengelola. Inefisiensi antara lain karena economic of scale BMT dan ketidakmampuan dalam menyusun strategi untuk memperkecil biaya dan mendongkrak pendapatan.
Kegiatan rutin BMT cenderung mengarahkan pengelola untuk lebih berorientasi pada persoalan bisnis (business oriented). Sehingga timbul kegiatan BMT bernuansa pragmatis daripada idealis yang berarti lebih cenderung menjadi Baitul Tamwil daripada Baitul Maal. Dimana lebih banyak menghimpun dana untuk bisnis daripada untuk mengelola zakat, infak dan shadaqoh. Hal ini mengakibatkan fungsi BMT sebagai lembaga sosial dalam menghimpun dan menyalurkan dan untuk kegiatan non produktif dalam rangka mengentaskan permasalahan umat khususnya masyarakat lapisan bawah tidak dapat terealisasi.
Dalam upaya untuk mendapatkan nasabah timbul kecenderungan BMT mempertimbangkan besarnya bunga di bank konvensional terutama untuk produk yang berprinsip jual beli (bai). Hal ini akan mengarahkan nasabah untuk berfikir profit oriented daripada menanamkan aspek syariah , lewat cara membandingkan keuntungan bagi hasil BMT dengan bunga di bank dan lembaga keuangan konvensional.
Berdasarkan penelitian Pusat Inkubasi Usaha Kecil (PINBUK) yang dilakukan tahun 2000, dilihat dari sektor keuangan ternyata likuilidasi BMT lebih kecil dari 25% ini. Hal ini mununjukkan BMT kurang bisa mengelola likuiditas yang berarti BMT cenderung mengumpulkan dana tapi tidak disalurkan. Dari sisi sektor riil, pada umumnya BMT masih belum berpendapat bahwa untung yang tipis dari penjualan yang besar masih lebih baik dari untung yang besar tapi penjualannya sedikit. Beberapa BMT cenderung mengambil untung yang besar dengan penjualan yang kecil, begitu juga bisnis rutin sebagai bisnis inti belum di pahami dengan baik, sehingga bisnis musiman itulah yang membuat BMT terjerembap (http://www.bmtlink.web.id/).

Faktor-Faktor yang menjadi Problematika Operasionalisasi Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) di Indonesia
Faktor Internal
Faktor-faktor internal yang menjadi kendala operasionalisasi BMT antara lain:
1. Permodalan dan Sumber Pendanaan
BMT umumnya memiliki modal yang relatif kecil dan sulit untuk menambah modal apabila diperlukan. Menurut riset yang dilakukan oleh Junaidi, pada umumnya BMT yang ada di lapangan memiliki aset berkisar Rp. 10–30 juta atau sebesar 51%-nya berada pada katagori Rp 10-30 juta-an. Ada beberapa BMT yang memiliki aset di atas Rp 100 juta tetapi jumlahnya hanya 5% (http://www.bmtlink.web.id/). Modal pendanaan merupakan fondasi dalam oprasional suatu lembaga keuangan. Hal ini berarti ketersediaan dana yang terbatas pada sebagian besar BMT di Indonesia akan mempersulit pengembangan usahanya.
Akumulasi kebutuhan dana masyarakat belum bisa dipenuhi oleh BMT. Hal ini yang menjadikan nilai pembiayaan dan jangka waktu pembayaran kewajiban dari nasabah cukup cepat dan belum tentu pembiayaaan yang diberikan BMT cukup memadai untuk modal usaha masyarakat. Dalam melayani penyaluran dana kepada masyarakat dinilai belum maksimal karena masih banyak masyarakat yang berhubungan dengan rentenir walaupun keberadaan BMT cukup dikenal. Hal ini disebabkan masyarakat membutuhkan pemenuhan dana yang memadai dan pelayanan yang cepat, walaupun ia membayar bunga yang cukup tinggi.
2. Sumber Daya Manusia (SDM)
BMT rata-rata memiliki SDM yang produktifitasnya rendah karena tingkat pendidikan yang rendah, tidak adanya standar dalam sistem rekruitmen, jenjang karir yang tidak jelas, sistem penggajian dan bonus yang tidak memadai, dan kurangnya upaya peningkatan kemampuan melalui kegiatan pelatihan dan pendidikan yang menyebabkan pengelola BMT kurang profesional dalam bekerja.
Para pengelola BMT dalam menjalankan tugasnya masih banyak yang mengutamaan kepentingan pribadi dan mengabaikan rasa dedikasi demi memajukan eksistensi BMT, bahkan praktek-praktek KKN juga masih dilakukan oleh beberapa pengelola BMT di Indonesia. Hal-hal tersebut menyebabkan kualitas SDM tidak memadai dan tidak mampu bersaing dengan lembaga keuangan lainnya yang mengakibatkan proses perjalanannya, berjalan tidak sesuai dengan harapan.
3. Inovasi di Bidang Pemasaran
Sebagian besar BMT tidak mampu mengembangkan produk-produk baru yang inovatif yang mampu meningkatkan daya saing dengan lembaga keuangan berskala besar dan dengan lembaga keuangan mikro lainnya. Hal ini dikarenakan umumnya BMT memiliki kualitas SDM yang rendah, dana yang terbatas untuk membiayai kegiatan riset dan pengembangan pasar, serta tidak memiliki strategi untuk mengatasi hambatan tersebut. Pengetahuan pengelola BMT juga dinilai sangat terbatas dalam menangkap dan menyikapi masalah ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat. Sehingga menyebabkan dinamisasi dan inovasi BMT tersebut kurang.
4. Teknologi Informasi
Terdapat banyak BMT yang belum memiliki perangkat teknologi informasi untuk mendukung kegiatan operasionalnya ataupun jika ada tidak mampu memanfaatkannya secara optimal karena keterbatasan SDM. Hal ini menyebabkan BMT tidak memiliki kemampuan akses terhadap informasi baik yang berasal dari intern lembaga maupun ekstern sehingga tidak mampu menyediakan informasi yang cepat, lengakap dan akurat khususnya dalam proses penyusunan perencanaan maupun pengambilan keputusan.
Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal yang menjadi kendala operasionalisasi BMT antara lain:

1. Persaingan
Persaingan yang dihadapi berasal dari sesama BMT, lembaga keuangan mikro lainnya maupun dengan bank umum yang memiliki unit usaha kecil atau cabang di daerah pedesaan. BMT cenderung menganggap BMT lain sebagai lawan yang harus dikalahkan yang mengakibatkan kebersamaan dalam menjalin koordinasi demi kelancaran operasionalisasi menjadi terhambat. Ini merupakan salah satu faktor yang menghambat kemajuan BMT di Indonesia pada umumnya.
2. Tingkat Kepercayaan Masyarakat
Tidak dapat di pungkiri, ada beberapa kelemahan dan penyakit yang kini dirasakan oleh BMT, umumnya berkisar pada lemahnya sumber daya manusia, manajemen, fasilitas, servis, permodalan, dan lain sebagainya. Kelemahan-kelemahan BMT tersebut, pada gilirannya berujung pada sulitnya menumbuhkan kepercayaan masya­rakat luas (public trust) terhadap jasa dan pelayanan yang bisa diberikan BMT.
Apalagi ada beberapa kalangan yang memandang sinis terhadap maraknya perkembangan dan pertumbuhan lembaga keungan syariah, bahkan kalangan umat Islam sendiri. Sinisme terhadap lembaga keuangan Islam tersebut dapat dilihat dari kepercayaan masyarakat Islam terhadap Bank Syariah sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari partisipasi umat Islam dalam investasi atau perguliran modal. Bahkan beberapa ilmuwan muslim ada yang mengecam perbankan syariah, mereka berpendapat bahwa bank-bank Islam dalam menyelenggarakan transaksi-transaksinya justru bertentangan dengan konsepnya. Dengan kata lain, bertentangan dengan semangat syariah. Mereka meragukan mengenai kegiatan-kegiatan usaha-usaha bank-bank Islam tersebut, yang notabene bermaksud untuk menghindarkan pemungutan bunga dan bermaksud agar risiko dipikul bersama, dalam pelaksanaannya sudah diaplikasikan sesuai dengan tujuan tersebut atau hanya penggantian istilah belaka (http://www.gema-pkm.org/)
3. Jaringan
Tidak ada jaringan yang kuat merupakan suatu kelemahan besar yang dihadapi BMT. Lemahnya jaringan berarti bahwa jaringan ada namun tidak memberikan arti dan perubahan yang lebih baik kepada anggota-anggota jaringan tersebut. Sistem jaringan yang lemah juga menyulitkan dalam menghadapi suatu permasalahan. Hal ini disebabkan beberapa BMT cenderung menghadapi masalah yang sama, misalnya nasabah yang bermasalah. Kadang ada satu nasabah yang tidak hanya bermasalah disatu BMT tetapi di BMT lain juga bermasalah. Apabila terdapat jaringan koordinasi yang baik antar BMT maka nasabah tersebut tidak akan dapat mengakses dana dari BMT lainnya karena dia sudah bermasalah di salah satu BMT. Akan tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jaringan koordinasi antar BMT masih lemah dan ampai saat ini belum ada suatu lembaga khusus yang menjadi induk BMT di seluruh Indonesia. Sehingga BMT cenderung berdiri sendiri-sendiri serta mengalami kesulitan dalam mengembangkan usahanya.
4. Kebijaksanaan Pemerintah
BMT yang berkembang di Indonesia tidak didukung dengan ketentuan hukum dan sistem pengawasan atau pembinaan yang memadai. Saat ini BMT menggunakan RUU Badan Hukum Koperasi dinilai kurang sesuai denagan kondisi BMT yang merupakan jenis lembaga intermediasi berskala mikro. Namun BMT juga bukan perbankan sehingga otoritas pengawasan tidak berada di Bank Indonesia. Hal ini menyebabkan kedudukan BMT sebagai lembaga keuangan secara hukum belum jelas sehingga ada sebagian masyarakat yang mengasumsikannya sebagai bank gelap.
5. Pengawasan dan Pembinaan
Belum adanya standar pembinaan dan pengawasan yang baku untuk BMT dan ada beberapa BMT yang belum mempunyai lembaga pengawas, secara tidak langsung telah ikut menghambat perkembangan BMT. Pengawasan yang efektif merupakan alat kontrol bagi BMT untuk beroperasi secara sehat sehingga dapat berkembang secara wajar dan sehat serta memperoleh kepercayaan masyrakat.
Konsep Kebijakan dan Strategi Pengembangan BMT
Konsep Kebijakan
Didasarkan pada berbagai permasalahan yang dihadapi BMT dalam operasianalnya maka dapat dirumuskan beberapa konsep kebijakan :
1. Ditetapkan badan hukum yang jelas serta independen bagi BMT. Hali ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam mengivestasikan uangnya di BMT karena secara hukum sudah ada jamianan yang jelas.
2. Didirikan satu BMT induk dari seluruh BMT yang ada di Indonesia. Di mana unsur-unsur di dalamnya harus ada regulasi. Jadi harus ditetapkan undang-undang khusus untuk BMT. Peraturan pelaksanaan sebagai penjabaran dari undang-undang dilakukan secara desentralisasi melalui BMT pusat dari setiap daerah, sedangkan induk BMT nasional berfungsi sebagai penetapan kebijakan yang bersifat umum. Dengan demikian akan memudahkan dalam pengaturan dan penentuan kebijakan dalam rangka pengembangan potensi serta perluasan jaringan BMT di seluruh Indonesia.
2. Pengawasan terhadap BMT dilakukan oleh lembaga pengawasan independen. Dewan pengawas memiliki tugas utama dalam pengawasan BMT terutama yang berkaitan dengan sistem syariah yang dijalankan. Landasan kerja dewan ini berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Fungsi utama dewan tersebut meliputi: sebagai penasihat dan pemberi saran atau fatwa kepada pengurus dan pengelola mengenai hal-hal yang terkait dengan syariah seperti penetapan produk, sebagai mediator antara BMT dengan Dewan Syariah Nasional, mewakili anggota dalam pengawasan syariah.
Srategi Pengembangan BMT
Dengan mempertimbangkan arah kebijakan pengembangan BMT dan permasalahan yang dihadapi maka strategi pengembangan BMT dirumuskan sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan yang tepat dan berkesinambungan dengan menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan formal ataupun non formal. .
2. Adanya pengetahuan srategik dalam bisnis (business strategy). Hal ini diperlukan untuk meningkatkan profesionalisme BMT dalam bidang pelayanan. Isu yang selalu berkembang dalam bidang ini biasanya adalah pelayanan tepat waktu, pelayanan siap sedia, pelayanan siap dana dan sebagainya.
3. Pengembangan aspek paradigmatik, diperlukan pengetahuan mengenai aspek bisnis islami sekaligus meningkatkan muatan–muatan islam dalam setiap perilaku pengelola dan karyawan BMT dengan masyarakat pada umumnya dan nasabah pada khususnya.
4. Memperluas jaringan kerjasama antar BMT, BPR syariah, bank syariah yang merupakan satu kesatuan berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya serta mempunyai tujuan untuk mengentaskan kemiskinan dan menegakan syariat islam di dalam bidang ekonomi. Dengan demikian akan
terbentuk jaringan vertikal dan horizontal yang mendukung perkembangan dan eksistensi BMT. Jaringan secara horizontal yaitu jaringan antar BMT dan jaringan secara vertikal yaitu antara BMT dengan lembaga lain yang lebih besar. Jaringan merupakan hal yang penting karena memungkinkan BMT memperoleh informasi yang dibutuhkan, akses dana, serta alih pengetahuan dan teknologi.
5. Dilakukan pengawasan secara intensif, karena hal ini sangat penting sebagai alat kontrol dalam pelaksanaan operasional BMT. Pengawasan yang intensif penting untuk meyakinkan bahwa tidak terdapat penyimpangan dalam operasional BMT, sebagai suatu peringatan dini mengenai kondisi kesehatan BMT.
6. Perlunya inovasi produk sesuai syariah yang ditawarkan kepada masyarakat. Pengembangan produk yang inovatif dapat dilakukan melalui program replikasi produk-produk yang telah terbukti keberhasilannya.
7. Strategi pemasaran yang local oriented berdampak pada lemahnya upaya BMT untuk mensosialisasikan produk–produk BMT di luar masyarakat di mana BMT itu berada. Guna mengembangkan BMT maka upaya–upaya meningkatkan teknik pemasaran perlu dilakukan, untuk memperkenalkan eksistensi BMT di tengah–tengah masyarakat.
8. Memperbanyak jumlah BMT dengan mendirikannya di setiap desa. Hal ini dikarenakan saat ini BMT yang ada di Indonesia pada umumnya berlokasi di perkotaan, seperti kabupaten dan kecamatan. Padahal komunitas masyarakat miskin sebagian besar terdapat di pedesaan. Hal ini menyebabkan masih banyak masyarakat miskin yang menggunakan jasa rentenir dikarenakan ketertidaksediaannya BMT di lingkungan tempat tinggal mereka. Selain itu pangsa pasar di daerah pedesan sangat potensial dalam mengembangkan BMT.
9. Meraih dukungan dari tokoh masyarakat dan agama dalam mensosialisasikan potensi dan eksistensi BMT sebagai lembaga keuangan yang siap membantu dalam pemberdayaan potensi usaha kecil dan menemgah. Dukungan dari para tokoh tersebut sangat sangat penting dikarenakan sebagian masyarakat sangat mepercayai tokoh-tokoh yang mereka hormati.
10. Perlu adanya evaluasi bersama guna memberikan peluang bagi BMT untuk lebih kompetitif. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan cara mendirikan lembaga evaluasi BMT atau lembaga sertivikasi BMT. Lembaga ini bertujuan khusus untuk memberikan laporan peringkat kinerja kwartalan atau tahunan BMT di seluruh Indonesia
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah:
Masih banyak BMT di Indonesia yang menghadapi kondisi-kondisi kritis dan terancam bubar. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam problematika dalam operasionalnya.
Secara teoritis eksistensi BMT sangat dibutuhkan oleh masyarakat tetapi dalam segi pengaplikasiannya dinilai belum mampu menjalankan fungsinya secara optimal.
Sumber daya manusia yang dimiliki oleh sebagian besar BMT di Indonesia tergolong masih rendah. Hal ini sangat mempengaruhi operasionalisasi dan daya saing BMT dengan lembaga-lembaga lain yang bergerak di bidang yang sama.
Kurangnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap BMT dikarenakan lembaga ini belum memiliki landasan hukum yang jelas. Disamping itu keraguan dari masyarakat terhadap produk-produk yang ditawarkan, karena dinilai belum sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang sesungguhnya.
BMT belum mampu menjawab problem real ekonomi yang dihadapi masyarakat pada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono, Heri. 2003. Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta : Ekonesia.
Ridwan, Muhammad. 2004. Manajemen Baitul Mal Wa Tamwil (BMT). Yogyakarta: UII press.
Widodo, Hertanto, dkk.1999. Panduan Akuntansi Syariah. Yogyakarta: UII press.
Ilmi, Makhalul SM. 2002. Teori dan Praktek Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Yogyakarta: UII press.
Nursali, dkk. 2004. Strategi Pengembangan Baitul Maal Wa Tamwil(BMT) dalam Memberdayakan Potensi Usaha Kecil dan Menengah sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Universitas Brawijaya: Karya Tulis Mahasiswa.
Bilqis Puspitasari. 2005. Alternatif Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah pada Baitul Maal Wa Tamwil Maslahah Mursalah lil Ummah (BMT MUU) Cabang Warung Dinoyo Pasuruan Jawa Timur. Universitas Brawijaya: Laporan Kuliah Kerja Nyata.
M. Erfan Arif. 2005. Peran dan Fleksibilitas Dana Zakat, Infak, Shadaqoh(ZIS) sebagai Salah Satu Alternatif dalam Memberantas Kemiskinan di Indonesia. Universitas Brawijaya: Karya Tulis Mahsiswa.
http://www.pikiran-rakyat.com/ (diakses tanggal 22 Januari 2006)
http://www.uii-net.com/ (diakses tanggal 22 Januari 2006)
http://www.suara-merdeka.com/ (diakses tanggal 22 Januari 2006)
http://www.gema-pkm.org/ (diakses tanggal 22 Januari 2006)
http://www.ekonomirakyat.org/ (diakses tanggal 22 Januari 2006)
http://www.bmtlink.web.id/ (diakses tanggal 31 Januari 2006)
http://www.geocities.com/ (diakses tanggal 19 Januari 2006)

Selasa, 24 Juni 2008

Potensi Bank Syariah Merambah Sektor UKM

Banyak pakar ekonomi mengatakan bahwa krisis ekonomi yang melanda Bangsa Indonesia tahun 1998 yang lalu telah membuat kondisi perekonomian negara terpuruk. Hampir semua sektor-sektor perekonomian mengalami “kelumpuhan”. Implikasi dari hal tersebut adalah ditandai dengan adanya penurunan pertumbuhan perekonomian nasional sebesar 13,2 %, sementara itu kenaikan harga melonjak sangat tinggi hingga mencapai 77,6% (A.Riawan Amin , 2003).
Di sisi lain, angka pengangguran meningkat tajam sebagai akibat dari semakin banyaknya perusahaan yang mengurangi ataupun menghentikan produksinya. Hal tersebut sesuai dengan teori Kurva Philip yang mengilustrasikan tentang trade off antara inflasi dan pengangguran yang menyatakan bahwa jika pengangguran nol (jumlah orang yang yang bekerja banyak) maka pada akhirnya akan terjadi inflasi (jumlah uang yang beredar di masyarakat sangat banyak) dan selanjutnya akan mengakibatkan turunnya nilai mata uang serta pengurangan tenaga kerja besar-besaran (PHK) untuk menekan biaya produksi, seperti apa yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia. Dampak dari krisis moneter yang telah terjadi sepuluh tahun silam masih kita rasakan hingga saat ini. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam rangka restrukturisasi perekonomian nasional seperti rekapitalisasi dan merger untuk membenahi sektor perbankan namun hal tersebut tidak terlalu banyak mengubah kondisi perekonomian negara.
Sektor riil sebagai salah satu sendi perekonomian yang terpenting ternyata juga belum menunjukkan prestasi yang gemilang, pasca terjadinya krisis moneter. Bisa dikatakan, kalau pertumbuhan pada sektor riil semakin buruk saja. Hal tersebut dikarenakan BI rate yang tinggi yaitu sebesar 12,75% (Andi Buchari, 2006) yang mengakibatkan suku bunga yang ditawarkan oleh bank umum terhadap kreditor menjadi lebih tinggi. Tentu saja hal ini membuat para investor enggan untuk berinvestasi dan lebih memilih untuk relokasi ke luar negeri. Alasan lain yaitu inflasi yang tinggi hingga 18% pada tahun 2005 yang menyebabkan ketidakpastian pendapatan akibat kesulitan dalam hal pemasaran karena harga yang mahal tidak ditunjang oleh purchasing power yang memadai dari masyarakat sedangkan biaya bunga tetap harus dibayar (dianggap sebagai fixed cost) tanpa melihat untung atau rugi.
Salah satu sektor riil yang memiliki prospek cukup bagus di tengah kondisi perekonomian yang tidak menentu pada saat ini adalah UKM atau usaha kecil menengah. Walaupun berskala kecil namun UKM terbukti mampu bertahan di tengah badai krisis moneter dibandingkan dengan BUMN dan BUMS. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya survei yang dilakukan oleh Akatiga dan Asia Foundation yang menunjukkan bahwa dari 320 UKM yang diteliti (pada saat krisis moneter), sebanyak 35% mengalami kenaikan kinerja, 12 % relatif stabil, dan 53 % omzetnya menurun tetapi tidak mengalami kebangkrutan usaha. Maka bisa disimpulkan bahwa keberadaan UKM di Indonesia sangat penting karena dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian negara dengan banyaknya tenaga kerja yang diserap oleh sektor tersebut. Atau dapat juga dikatakan bahwa UKM merupakan katalisator perekonomian karena dapat menyelesaikan masalah perekonomian yang sekarang melanda bangsa Indonesia, diantaranya: menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan.
Namun demikian keberadaan UKM di Indonesia tidak lepas dari berbagai masalah. Masalah terbesar yang dihadapi UKM dalam rangka mengembangkan usahanya adalah keterbatasan modal yang disebabkan oleh sulitnya mencari pinjaman atau kredit kepada lembaga keuangan formal atau perbankan. Dengan demikian, walupun prospek UKM di masa depan sebagai katalisator ekonomi cukup bagus namun jika tidak ditunjang dengan dukungan yang memadai dari sektor perbankan, maka UKM tidak akan bisa maju dan hanya bisa “berjalan di tempat”.
Selama ini pemberian dan penyaluran kedit dari lembaga keuangan formal yaitu bank komersial, baik bank syariah maupun bank konvensional pada sektor UKM dinilai masih belum berjalan secara efektif dan efisien. Hal tersebut dikarenakan adanya gap antara sektor keuangan formal dengan nasabah lapisan bawah yang biasa disebut pembiayaan retail, diantaranya adalah: minimnya jaminan (Bank terikat dengan ketentuan BI mengenai aspek collateral), tingginya biaya transaksi (terkait dengan sektor mikro yang sarat dengan asymetric information sehingga menghambat proses monitoring klien), dan hambatan sosial budaya (rendahnya tingkat pendidikan serta prosedur peminjaman yang dinilai merepotkan).
Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia yang membawahi semua kebijakan perbankan nasional mengeluarkan kebijakan dalam hal penataan perbankan nasional. Kebijakan tersebut bersifat jangka pendek dan jangka panjang.
Adapun kebijakan jangka pendek yaitu meliputi:
penyesuaian ketentuan peraturan BI no. 7 / 2 / PBI / 2005 tentang penilaian kualitas aktiva bank umum
penyesuaian kembali rasio Giro Wajib Minimum pada kuartal pertama pemberian izin kepada cabang konvensional yang memiliki unit usaha syariah untuk melayani transaksi syariah.
perluasan jaringan pelayanan perbankan bagi sektor UKM agar dapat menjangkau seluruh pelosok daerah.
Sedangkan kebijakan jangka panjang meliputi :
penguatan struktur permodalan dalam rangka mempercepat proses konsolidasi.
peningkatan peran bank asing dalam struktur perekonomian.
penguatan posisi dan arah kebijakan BI dalam menata hubungan bank di pasar keuangan.
penguatan manajemen internal perbankan.
perbaikan infrastruktur industri perbankan melalui penyempurnaan JPSK, pembentukan APEX bagi BPR.
Rencana tersebut mengarah pada perluasan cakupan wilayah yang mungkin digarap oleh sektor formal terutama pada kebijakan jangka pendek point 3 dan 4.
Program kredit pengembangan usaha kecil dari pemerintah selama ini masih didominasi oleh bank konvensional di mana operasionalnya terkait erat dengan sistem bunga yang diharamkan dalam ajaran Islam. Program kredit ini biasanya disalurkan sampai ke unit bank konvensional di pelosok tanah air yang terdiri dari desa-desa yang mayoritas penduduknya menganut ajaran Islam dan kebanyakan dari mereka masih memegang budaya Islam dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kondisi penduduk diwilayah tersebut memang tergolong sebagai ekonomi lapisan menengah ke bawah dengan mata pencaharian pokok di bidang agraris antara lain: petani, nelayan dan beternak. Sebagian lainnya merupakan pengrajin. Skala bisnis yang dikerjakan tergolong kecil dan kurang memberikan multiplier effect bagi lingkungan sekitarnya.
Kondisi tersebut tentu memprihatinkan bagi kalangan muslim sendiri, di mana keberadaan bank syariah ternyata belum mampu membebaskan umat islam dari belenggu riba dikarenakan terbatasnya pilihan bagi nasabah dalam mencari pinjaman serupa (kredit proyek pengembangan UKM). Di samping itu, nasabah masih menghadapi masalah pelik ketika ingin mendapatkan pembiayaan itu yang sampai saat ini masih dikuasai oleh bank umum (konvensional) unit mikro yaitu monopoli sumber dana oleh para kapitalis yang memburu program kredit dengan bunga yang lebih rendah (terkait dengan moral hazard perburuan rente) sehingga akses “si kecil’ terhadap sumber modal semakin sulit.
Peran bank syariah terhadap pengembangan sektor UKM yang “minim” tersebut tidak terlepas dari umur bank syariah itu sendiri yang masih tergolong “muda” jika dibandingkan dengan umur bank konvensional yang sudah menerapkan dan concern sebagai microfinance sejak lama. Namun ternyata disadari ataupun tidak, keberadaan bank syariah dalam kancah perekonomian nasional telah memberikan “nuansa baru” bagi iklim usaha di Indonesia.
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
Keberadaan bank syariah di Indonesia diawali dari lokakarya MUI mengenai perbankan tahun 1990. Kemudian diikuti penerbitan UU No 7/1992 tentang Perbankan yang mengakomodasi kegiatan bank dengan prinsip bagi hasil ( Arie Widiarto, 2002 ). Satu-satunya bank syariah yang ada pada waktu itu adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Dalam perkembangan selanjutnya undang-undang perbankan syariah diamandemen menjadi UU no.10 tahun 1998.
Jumlah bank tumbuh pesat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun 1998 menjadi 2 bank umum syariah, 3 unit usaha syariah (UUS), dan 81 BPR syariah pada akhir 2001. Jumlah kantor cabang bank umum syariah tumbuh dari 26 menjadi 51. Pada akhir tahun 2005, jumlah bank syariah (kantor pusat, UUS, dan kantot cabangnya) mencapai 422 ditambah dengan 92 BPR syariah yang sudah beroperasi.
Sistem Keuangan Islam
Sektor keuangan dalam Islam pada hakekatnya merupakan sektor yang berkaitan dengan arus uang, dinamakan aktifitas utamanya adalah investasi. Sehingga sektor keuangan ini tentu kuat hubungannya dengan sektor riil, karena aktifitas investasinya adalah aktifitas produktif sektor riil. Dengan demikian tidak ada dikotomi sejajar antara riil dan moneter, jadi boleg dikatakan corak ekonomi islam sebenarnya adalah aktifitas riil. Eksistensi lembaga keuangan Islam dimaksudkan untuk memperlancar aktifitas ekonomi dengan mempertemukan kelompok defisit dengan kelompok surplus, menggunakan kontrak investasi atau jual beli melalui mekanisme utamanya yaitu bagi hasil (profit-loss sharing). Sektor keuangan dalam Islam tidak memperbolehkan aktifitas keuangan menggunakan bunga, aktifitas spekulasi dan lain-lain yang sifatnya diharamkan oleh syariah Islam. Instrumen yang dapat digunakan sama dengan aktifitas pada riil yaitu mudhrabah, musyarakah, murabahah, ijarah, istisna, salam, rahn dan lain-lain (Ali Sakti 2008).
Kegiatan Usaha Bank Syariah
Kegiatan-kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank syariah atau bank umum yang menerapkan prinsip syariah di Indonesia menurut pasal 28 SK DIR BI 32/34/1999 adalah sebagai berikut :
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi:
Ø giro berdasarkan prinsip wadiah
Ø tabungan berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah
Ø deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, atau
Ø bentuk lain berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah
melakukan penyaluran dana melalui :
Ø transaksi jual beli berdasarkan prinsip murabahah, istishna, ijarah, salam, jual beli lainnya
Ø pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah, musyarakah, bagi hasil lainnya
Ø pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip hiwalah, rahn, qard
membeli, menjual, dan atau menjamin atas risiko sendiri surat-surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip jual beli atau hiwalah.
membeli surat-surat berharga pPemerintah atau Bank Indonesia yang diterbitkan berdasarkan prinsip-prinsip syariah
memindahkan uang untuk kepentingan sendiri atau nasabah berdasarkan prinsip wakalah.
menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip wakalah.
menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah.
melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah.
melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lain dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek berdasarkan prinsip ujrah.
memberikan fasilitas letter of credit berdasarkan prinsip wakalah, murabahah, mudharabah, musyarakah, dan wadi’ah, serta memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip kafalah.
melakukan kegiatan usaha kartu debit berdasarkan prinsip ujrah.
melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan prinsip wakalah
melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang disetujui oleh Dewan Pengawas Syariah.
Selain dapat melakukan kegiatan seperti di atas bank syariah juga dapat melakukan kegiatan sebagai berikut :
melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan prinsip sharf
melakukan kegiatan penyertaan modal berdasarkan prinsip musyarakah dan atau mudharabah pada bank atau perusahaan lain yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip musyarakah dan atau mudharabah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya
bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun bedasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku
bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerima dana zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan (qard ul hasan)
Konsep dan Definisi UKM
Dalam makalah Widjayanto, 2005 disebutkan definisi-definisi usaha kecil menurut berbagai sumber:
1. BPS mendefinisikan usaha kecil dengan jumlah tenaga kerja 5-19 orang
2. UU usaha kecil no. 9 Tahun 1995 mendefinisikan sebagai usaha dengan omset kurang dari 1 milyar per tahun, memiliki aset tetap tidak termasuk tanah dan bangunan kurang dari 200 juta
3. Berdasarkan definisi yang digunakan BI mengenai kredit usaha kecil ( Rp 50 juta- Rp 500 juta ) lebih dari 70% memiliki pinjaman sebesar 50 juta atau kurang.
Masih dari makalah Widjayanto,2005. Penelitian JBIC ( Japan Bank ), DAI (USA ), REDI ( Surabaya ) di Jawa Timur per Juni 2004 mengungkapkan bahwa masih ada ruang peningkatan pelayanan perbankan dalam skala usaha kecil, peminjam memanfaatkan pinjaman dari:
· BRI 47% ( rata- rata plafond Rp 33 juta )
· Koperasi 12% ( rata- rata plafond Rp 11 juta )
· BPR/S 10% ( rata-rata plafond 8 juta )
Kredit Program Usaha Kecil
Istilah kredit dalam perbankan konvensional lebih dikenal dengan istilah pembiayaan dalam perbankan syariah. Menurut Antonio (2001), pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya pembiayaan dibagi menjadi dua hal, yaitu :
pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas untuk peningkatan usaha baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Dari uraian di atas kredit program dapat diklasifikasikan sebagai pembiayaan produktif yang spesifik kepada pembiayaan modal kerja. Kredit program sendiri merupakan proyek pembiayaan untuk meningkatkan modal bagi usaha kecil agar mampu bertahan dan mengembangkan usaha. Oleh karena tujuannya spesifik, maka hanya skala usaha kecil yang dapat mengakses kredit program ini.
Lembaaga Keuangan Mikro
Fokus pembiayaan pada lembaga keuangan mikro ditujukan pada pengusaha kecil dan menengah sebagai unit defisit dalam hal permodalan.
Menurut Soetrisno, LKM di Indonesia bisa dibagi menjadi 2 kelompok besar yakni:
Bank Umum dan BPR/ Syariah
Fungsi bank umum sebagai LKM adalah dengan membentuk unit mikro yang beroperasi sampai ke pelosok tanah air, contohnya: BRI-unit.
Koperasi
LKM yang berbentuk koperasi simpan pinjam ( KSP ) atau koperasi lainnya termasuk di dalamnya BMT.
Aspek Jaringan dan Modal Bank Sayariah
Pertumbuhan bank syariah dari tahun ke tahun menunjukkan indikasi yang baik bagi perkembangan bank syariah nasional karena fungsi bank sebagai penyedia jasa perbankan sangat dipengaruhi oleh jaringannya. Semakin banyak bank yang beroperasi dengan prinsip syariah, semakin banyak pilihan untuk mecukupi likuiditas karena mismatch manajemen.
Sebagai lembaga intermediasi, bank dinilai sehat apabila memenuhi kaidah kecukupan modal (capital), aset (asset), manajemen (management), keuntungan (earning), dan likuiditas (liquidity). Kelima kaidah tersebut biasa disebut dengan istilah CAMEL. Dari kelima kaidah tersebut, bank syariah mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan LKM yang lain. DPK bank syariah yang terus mengalami trend kenaikan (menunjukkan kebutuhan pasar akan institusi syariah), harus diikuti dengan kenaikan pembiayaan juga karena karakteristik bank syariah yang sangat terkait dengan sektor riil. Dana yang tidak tersalurkan, akan menjadi iddle yang akan berimbas pada porsi bagi hasil yang lebih rendah pada sahibul maal karena ada dana yang tidak termanfaatkan untuk usaha yang berpotensi menghasilkan keuntungan.
Di samping itu adanya bank syariah BI dengan perannya sebagai lender of the last resort sangat berperan dalam mengurangi resiko likuiditas yang mungkin dihadapi oleh bank syariah dalam operasinya.
Aspek Legalitas Perbankan Syariah
Selain pertimbangan syariah (pilihan atas halal dan haram) nasabah juga mempertimbangkan aspek legalitas dari sebuah lembaga keuangan syariah. Tentu saja masyarakat tidak mau mengulang pengalaman pahit krisis perbankan di tahun 1997-1998 di mana masyarakat berbondong-bondong untuk menarik dana yang ada di bank karena ketidakpercayaan masyarakat atas keamanan dana tersebut. Selanjutnya uang kartal yang dipegang masyarakat melonjak tajam dari Rp. 24,9 trilyun pada akhir oktober 1997 menjadi Rp. 37,5 trilyun pada akhir januari 1998 dan puncaknya pada bulan Juni 1998 mencapai Rp. 45,4 trilyun. Implikasinya inflasi melonjak tajam dan nilai tukar rupiah terhadap dolar menembus angka nominal Rp. 16.000 pada tanggal 22 januari 1998.
Dampak buruknya sektor riil mengalami keterpurukan. Pengangguran meningkat karena banyak usaha yang gulung tikar karena tidak mampu menghadapi kondisi tersebut.
Krisis perekonomian Indonesia telah membuka wacana baru akan ketahanan bank Syariah dalam menghadapi keadaan tersebut. Kondisi ini mendorong perubahan atas UU No 7 Th 1992 pada UU No 10 Th 1998.. Undang-undang ini kemudian diikuti dengan terbitnya sejumlah ketentuan lain diantaranya :
Ø SK Gubernur BI / peraturan Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan lebih luas bagi pengembangan perbankan syariah di tanah air.
Ø UU No.23 tahun 1999 menugaskan Bank Indonesia untuk menyiapkan perangkat kegiatan dan fasilitas penunjang lainnya yang mendukung operasional Bank Syariah. (Republika Online)
mencapai keuntungan masing-masing. Bank menetapkan bunga yang sekecil mungkin untuk deposan dan sebesar mungkin untuk debitor.
Tingkat Kestabilan Bank Syariah
Pada saat kondisi ekonomi yang tidak menentu , inflasi misalnya, bank konvensional tidak bisa menghindar dari tingkat bunga tinggi yang mengakibatkan bank mengalami negative spread atau membayar bunga deposito lebih tinggi daripada penerimaan bunga kredit. Berlawanan dengan itu, bank syariah tidak begitu terpengaruh dengan adanya kondisi perekonomian yang buruk karena bank syariah tidak memakai sistem bunga sehingga tidak sampai menggalami negative spread.
Hubungan Sektor Riil dengan Sistem Perbankan Islam
Karena bank syariah menerapkan sistem bagi hasil bukan bunga maka prinsip yang digunakan adalah prinsip keadilan untuk menuju perekonomian yang stabil serta sehat. Adapun kontribusi yang diberikan oleh bank syariah kepada perekonomian nasional sesuai dengan prinsip tersebut di atas adalah bahwa keberadaan bank syariah akan meningkatkan sektor riil di Indonesia. Hal tersebut karena bank syariah dalam menjalankan kegiatannya terutama dalam menyalurkan pembiayaan benar-benar berdasarkan kegiatan nyata /riil sehingga hasil yang didapatkan bukan hasil spekulasi seperti yang terdapat pada bank konvensional. Sehingga hasil yang dicapai yaitu pertumbuhan ekonomi benar-benar mencerminkan kondisi sektor riil.
Sektor riil sedang mengalami proses kehancuran. Kalau dikaji secara ilmiah mengapa sektor riil ”seperti telur di ujung tanduk” adalah karena suku bunga yang ditetapkan oleh bank konvensional untuk pembiayaan sangat tinggi. Dan kemudian timbul pertanyaan berikutnya yaitu mengapa bank konvensional menetapkan bunga yang tinggi, hal tersebut karena bank konvensional menetapkan prinsip profit oriented yang disebabkan bank harus menanggung bunga yang dibayarkan kepada deposan dengan bunga yang relatif tinggi juga dengan asumsi bank harus selalu dalam keadaan untung agar tidak terjadi negative spread.
Bisa dibayangkan tentu bahwa dengan alasan-alasan di atas dapat diketahui bahwa dalam prakteknya bank konvensional hanya memikirkan kepentingan institusinya saja agar tidak mengalami kerugian atau negative spread. Bank konvensional tidak mempedulikan kelangsungan hidup para kreditor, sehingga kreditorpun tidak fokus dalam mengembangkan usahanya yang paling diutamakan adalah ketepatan dan kemampuan dalam membayar cicilan utang kepada bank konvensional. Dan pada akhirnya sektor riil pun tidak bisa berjalan dengan baik.
Dari paparan di atas bisa disimpulkan bahwa keberadaan bank syariah memang sangat diperlukan dalam kondisi ini terutama untuk membantu mengatasi keterpurukan yang dihadapi oleh sektor riil dalam hal ini UKM dalam bidang permodalan.
Peran strategis bank syariah dalam pembiayaan proyek UKM
Sesuai dengan fokus pengembangan perbankan syariah nasional pada fase kedua yaitu meningkatkan kompetensi skill , profesional lembaga dan pelaku perbankan syariah, serta meningkatkan fungsi intermediasi, efisiensi, dan daya saing industri perbankan syariah, maka diperlukan adanya kesiapan menyongsong pasar retail yang masih terbuka peluangnya. Pertanyaannya, haruskah bank syariah terjun langsung dalam mengakomodasikan proyek pembiayaan itu pada sektor itu? Sementara bank Indonesia yang berstatus sebagai otoritas moneter menetapkan prosedur agunan yang selama ini masih menyulitkan UKM untuk masuk dalam LKM formal. Dengan melihat trend pasar yang menjanjikan serta kebijakan BI, bank Syariah sebenarnya bisa memasuki pasar UKM ini secara langsung di samping juga tetap mengakomodasi kelas lower dengan program linkage. Sedangkan masalah kesulitan agunan bisa disiasati dengan mengembangkan social capital dengan memberdayakan kelompok usaha, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSP) sehingga berlaku tanggung jawab renteng dengan double pressure yaitu pada bank dan pada kelompoknya.
Oleh karena itu perlu adanya lembaga intermediasi syariah dengan kekuatan yang sama yang masuk dalam sektor UKM ini untuk melindungi kepentingan pengusaha kecil dari praktek-praktek perbankan yang tidak fair dan tentunya memenuhi prinsip syaiah.
Program kredit / pembiayaan proyek untuk kegiatan produktif memang seharusnya mencapai sasaran yaitu meningkatkan volume produksi yang akan meningkatkan produktivitas di sektor riil sehingga menghasilkan multiplier effect (permintaan tenaga kerja maupun usaha ikutannya) bagi lingkungan sekitarnya dan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi.
Oleh karenanya diperlukan integrasi program kredit yang tidak lagi bertumpu pada satu lembaga saja.
Analisis Hambatan
Walaupun bank syariah memiliki berbagai macam kelebihan dan keunggulan dalam menggerakkan laju perekonomian yaitu sektor UKM, namun perlu diketahui bahwa pengaruh bank syariah terhadap pertumbuhan perekonomian nasional hanya 0,23% atau kurang dari 1%. Menurut analisa dari bank Indonesia bahwa bank syariah baru akan bisa memperngaruhi perekonomian nasional bahkan bisa mempengaruhi inflasi jika peran bank syariah dalam pertumbuhan perekonomian nasional bekisar antara 10%-20%.
Sedangkan dalam sektor UKM (yang merupakan stimulator perekonomian) peran bank syariah saat ini juga dinilai belum maksimal. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa saat ini penyaluran pembiayaan pada sektor UKM masih didominasi oleh bank konvensional.
Adapun alasan-alasan yang menghambat bank syariah dalam mengoptimalkan perannya pada sektor UKM adalah sebagai berikut :
Ketersediaan sumber daya insani yang memahami aspek fikih sekaligus aspek finansial di Indonesia masih sangat terbatas (SDM yang kurang berkualitas),
Sosialisasi tentang bank syariah yang kurang terutama kepada masyarakat lapisan bawah sebagai pemegang peranan penting sektor UKM
Kurang aktifnya bank syariah dalam pembiayaan,
Kecanggihan teknologi informasi yang masih ketinggalan jika dibandingkan dengan bank konvensional
kebijakan pemerintah terhadap perkembangan bank syariah dinilai lamban karena pemerintahan sendiri masih berpihak pada perbankan konvensional dengan alasan eksistensi bank konvensional selama ini berpengaruh pada perekonomian nasional serta kurangnya pengetahuan pemerintah tentang bank syariah sendiri
adanya asymetris information atau informasi satu arah antara bank syariah dengan nasabah sehingga tidak ada sinkronisasi dalam menjalankan aktivitasnya
adanya penyelewengan tugas oleh pihak bank syariah itu sendiri dikarenakan sumber daya manusia yang diberdayakan dalam bank syariah tersebut berasal dari bank konvensional atau karena pengetahuan yang dimiliki hanya terbatas pada itu-itu saja
peran bank syariah sebagi mitra kerja sektor UKM yang dinilai belum tuntas artinya bank syariah hanya membantu dalam hal pembiayaan dana saja tetapi tidak turut serta membantu untuk memajukan UKM dalam meningkatkan pendapatannya.
jumlah bank syariah yang belum sampai ke pelosok-pelosok desa merupakan hambatan yang cukup berarti karena sebagian besar sektor UKM berlokasi di wilayah pedesaan.
Hambatan-hambatan seperti yang telah disebutkan di atas itulah yang menyebabkan perkembangan bank syariah terhambat walaupun secara teoritis bank syariah memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) dalam perekonomian nasional. Oleh sebab itu, diperlukan adanya kerjasama antara pemerintah sebagai penentu kebijakan, bank syariah , serta masyarakat. Dengan begitu bank syariah akan mampu bersaing dengan bank konvensional serta pada akhirnya akan benar-benar mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional melalui pertumbuhan sektor riil.
Kesimpulan
Bank Syariah mempunyai keunggulan-keunggulan untuk masuk dalam sektor mikro (usaha kecil) yang selama ini hanya dikelola oleh bank yang masih berbasis bunga. Karakteristik Bank Syariah yang senantiasa dekat dengan sektor riil strategis dengan upaya pengembangan usaha kecil melalui kredit program ditambah lagi dengan faktor-faktor pendukung ( instrumen dalam bank syariah, contohnya tingginya FDR, rendahnya NPL, serta faktor pendukung yang lain ) maka bank syariah berpotensi besar memasuki wilayah mikro sesuai dengan rencana kebijakan BI sebagai Bamk Sentaral Indonesia.

Daftar Pustaka

Ali Sakti, (2008), Islamic Economics, (Makalah dalam Studi Intensif Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah Prodi Muamalah (Ekonomi Islam) STAIN Batusangkar Sumatera Barat).
Andi Buchari, (2006), Bank Syariah Takterpengaruh Patokan BI dalam Tempo Interaktif, Jakarta
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2005. Peran Bank Indonesia Dalam Percepatan Pengembangan Bisnis Syariah di Indonesia. Makalah Di sajikan dalam Kuliah Informal Ekonomi Islam BREVITIES. CIES, Malang 10 Desember 2005.
Riawan Amin, (2003), Peluang Investasi Berbasis Syariah, Jakarta

Salam, Abdul (2005). Berebut Pasar Kredit Mikro : Perlukah Pembatasan. Http:// http://www.pnm.com/. Diakses tanggal 12 Januari 2006.
Sjahdeini, Sutan Remy, 1999. Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta : Grafiti.
Soetrisno, Noer. (tanpa tahun). Lembaga Keuangan Mikro: Energi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat ?
Syafii antonio, Muhammad.2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik.
Jakarta:Gema Insani
Widjayanto, Tri Hari.2005. Peran BPR Syariah Dalam Peningkatan Kesejahteraan UKM. Makalah Disajikan dalam Seminar Temu Ilmiah Regional FoSSEI Jawa Timur, Jombang 15 Januari 2005