Minggu, 13 Juli 2008

Islam dan Masyarakat Madani

"Islam dan Civil Society"
Banyak sarjana telah mengidentifikasikan Islam sebagai salah satu pengaruh dalam pembentukan karakter negara dan masyarakat Indonesia pasca-kolonial (Benda 1958; Geertz 1968 1960; Hefner 2000, 1998, 1997; Lev 1972; Samson 1978). Sejak formulasi Pancasila sebagai dasar ideologis negara, perspektif dan ajaran Islam telah mempengaruhi perilaku politik dan nilai-nilai sosial masyarakat (periksa, misalnya, Yamin 1959). Pelbagai perdebatan pun masih berlangsung hingga kini di kalangan intelektual dan pemuka agama Islam di Indonesia tentang bagaimana bangsa Indonesia harus ‘memaknai’ dan ‘membangun’ negara Indonesia modern. Dua dasawarsa terakhir terjadi perubahan-perubahan signifikan pendekatan dalam menerapkan ajaran Islam oleh kaum intelektual Muslim di Indonesia.
Sebagai contoh, Muhammad A.S. Hikam (2000:222-226) mengidentifikasi tiga arus utama. Yang pertama adalah kaum intelektual yang menganggap Islam sebagai sebuah Pandekatan Alternatif. Bagi mereka, Islam dilihat sebagai sistem-nilai yang lengkap, yang seharusnya diterapkan sebagai alternatif untuk sistem (kewarganegaraan) yang ada. Penerapan pendekatan ini menuntut perubahan struktural, seperti yang dilakukan Ayatollah Khomeini di Iran dan Zia-ul Haq di Pakistan, mencakup pendirian bank-bank dan sistem-sistem legal Islam, penerapan gaya-hidup Islam untuk mensterilkan perilaku sosial dan menolak pengaruh-pengaruh non-Islam. Ini berarti kecenderungan menciptakan eklusifitas dan sektarian. Menurut Hikam, penekanan prinsip-prinsip formalistik dan legalistik Islam dapat membahayakan heterogenitas masyarakat Indonesia. Di Indonesia, sejumlah orang dan kelompok mengajukan implementasi prinsip-prinsip Islam untuk melawan tidak adanya atau kurangnya kepatuhan kepada hukum baik oleh elit maupun orang biasa. Di antara kaum intelektual yang masuk dalam kategori ini adalah Imaduddin A.R., A.M. Saefuddin dan Amien Rais.
Arus kedua terdiri dari mereka yang ingin menerapkan Pendekatan Kultural dalam proses penyebaran nilai-nilai Islam melalui modernitas dan pencerahan dalam komunitas Islam (umat). Landasan pendekatan ini adalah rasionalitas dan kontekstualitas pengajaran Islam melintas waktu dan ruang. Modernitas harus dilaksanakan dengan bernapaskan Islam, tetapi pendekatan yang kaku dalam penerapan standar-standar Islam perlu ditolak. Pendekatan kultural ini menarik simpati mereka yang suka dengan kehidupan modern yang bernapaskan nilai-nilai Islam, terutama kalangan menengah dan menengah ke atas kaum Muslim. Bagi Hikam, pendekatan ini mengabaikan kebutuhan perubahan structural untuk mengakomodasi keadilan dan kesetaraan dalam kontek Islam. Pendekatan ini terutama berpusat pada pemikiran dan kegiatan Nurcholish Madjid.Kelompok ketiga mengambil Pendekatan Transformasi Sosio-kultural. Para intelektual ini menerima keharusan Islam sebagai suatu pendekatan kultural, tetapi bukan sebagai alternatif tunggal. Islam dapat berkembang lebih baik bila berkompelemnt dengan agama dan ideologi lain. Islam perlu membawa transformasi nilai-nilai yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan modern, khususnya kalangan miskin dan kurang berpendidikan. Islam harus memainkan peran dalam perubahan structural dalam masyarakat dengan mengembangkan nilai-nilai demokratis (Syura), egaliterianisme, kebebasan, dsb. Pendekatan ini bertujuan memberdayakan mereka yang ‘tidak berdaya’ (mustadh’afin) baik dalam kalangan Muslim maupun non-Muslim. Kaum intelektual yang masuk dalam kategori ini, seperti Abdurrahman Wahid, Moeslim Abdurtahman dan Djohan Effendi, meyakini bahwa mereka perlu bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan sosial manapun yang bertujuan memperbaiki struktur-struktur dan kondisi-kondisi sosial. Agenda utama mereka mencakup demokrasi akar-rumput, pemberdayaan politik, dan perbaikan ekonomi dan pendidikan.
Pelbagai perspektif Islam dalam pemaknaan Indonesia modern tersebut di atas membawa kita kepada ihwal sekuralisasi dan civil society. Sekularisasi dalam konsep negara-bangsa modern menekankan supremasi dan teknologi (rasio daripada keyakinan agama) dan sering dilihat sebagai melongsorkan keyakinan agama. Bila, sebagaimana disinyalir Ernest Gellner (1994:xi) bahwa, ‘tesis sekularisasi tidak diterapkan dalam Islam’, maka konsep negara-bangsa tidaklah konsisten dengan Islam. Konsep negara dalam Islam, dawlah, tidak mengimplikasikan suatu negara-bangsa dan pemisahan kekuasaan, tetapi ia mengimplikasikan kekuasaan berada dalam dinasti dari sebuah monarki, malik, sultan atau syah, dalam tradisi Arab. Negara dinastik atau monarki (raj) adalah sebuah ‘Dawlah Islamiyyah’, dan legitimasinya berasal bukan dari konstitusinya, tetapi keyakinan Islamik pemimpinnya (Schumann 1999). Konsep negara-bangsa telah lama menjadi problem bagi para pemimpin dan intelektual Islam. Islam mengakui persaudaraan Islam, Ukhuwwah Islamiyyah, dan menolak tribalisme dan nasionalisme Barat sebagai sesuatu yang tidak bersesuai (divisive).
Sehubungan dengan perspektif persaudaraan Islam, kita melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menunjukkan Indonesia adalah negara-bangsa modern, yang mengakomodir keanekaragaman kultural yang condong kepada semangat kekeluargaan daripada individualisme dan liberalisme Barat modern. Banyak sarjana dan pemimpin Muslim Indonesia tampaknya setuju dengan Nurcholish Madjid yang menegaskan bahwa ‘Kami sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh domensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa’ (Madjid 1987:187).
Diskusi tentang suatu civil society Indonesia yang menunjukkan suatu ruang publik yang bebas dari pengaruh keluarga dan negara dimulai pada akhir 1980an, tetapi itu terjadi di Monash University di Australia, dan bukan di Indonesia. Almarhum Profesor Herberth Feith, seorang Indonesianis yang dihormati, mengundang sejumlah intelektual Indonesia ke sebuah seminar. Yang paling menonjol adalah Profesor Arief Budiman. Tema seminar dan judul dimana makalah-makalahnya disajikan menyangkut kapitalisme Orde Baru, korporatisme dan negara totaliter. Hanya artikel Arief Budiman yang memberikan suatu paparan umum tentang isu-isu civil society (Rahardjo 1999; Budiman 1990).
Sejak itu, para sarjana dan intelektual Muslim di Indonesia mulai membahas masyarakat madani. Perlu dicatat bahwa beberapa sarjana Muslim lebih senang menggunakan ‘civil society’ sebagaimana dilahirkan dalam tradisi Barat, dan sebagian lagi menggunakan masyarakat madani. Menurut Schumann (1999), lazimnya madinah merujuk kepada suatu tempat dimana din (agama) dimuliakan, khususnya pada zaman Nabi Muhammad. Oleh karena itu, mustama madani atau masyarakat beradab memberikan tempat kepada mereka yang bukan Islam tetapi yang hidupnya ‘tertib’. Ketika ihwal masyarakat madani diperdebatkan, umumnya dipahami sebagai sebuah utopia, masyarakat yang diidealkan yang bebas dari intervensi negara, dan diharapkan dapat membawa keadilan kepada masyarakat Indonesia secara umum. Civil society diperlukan agar demokrasi dapat berhasil karena ia mempromosikan asosiasi volunter (voluntary association), toletansi, kesetaraan, keterbukaan dan hak-hak asasi manusia.

Tidak ada komentar: