Selasa, 24 Juni 2008

Potensi Bank Syariah Merambah Sektor UKM

Banyak pakar ekonomi mengatakan bahwa krisis ekonomi yang melanda Bangsa Indonesia tahun 1998 yang lalu telah membuat kondisi perekonomian negara terpuruk. Hampir semua sektor-sektor perekonomian mengalami “kelumpuhan”. Implikasi dari hal tersebut adalah ditandai dengan adanya penurunan pertumbuhan perekonomian nasional sebesar 13,2 %, sementara itu kenaikan harga melonjak sangat tinggi hingga mencapai 77,6% (A.Riawan Amin , 2003).
Di sisi lain, angka pengangguran meningkat tajam sebagai akibat dari semakin banyaknya perusahaan yang mengurangi ataupun menghentikan produksinya. Hal tersebut sesuai dengan teori Kurva Philip yang mengilustrasikan tentang trade off antara inflasi dan pengangguran yang menyatakan bahwa jika pengangguran nol (jumlah orang yang yang bekerja banyak) maka pada akhirnya akan terjadi inflasi (jumlah uang yang beredar di masyarakat sangat banyak) dan selanjutnya akan mengakibatkan turunnya nilai mata uang serta pengurangan tenaga kerja besar-besaran (PHK) untuk menekan biaya produksi, seperti apa yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia. Dampak dari krisis moneter yang telah terjadi sepuluh tahun silam masih kita rasakan hingga saat ini. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam rangka restrukturisasi perekonomian nasional seperti rekapitalisasi dan merger untuk membenahi sektor perbankan namun hal tersebut tidak terlalu banyak mengubah kondisi perekonomian negara.
Sektor riil sebagai salah satu sendi perekonomian yang terpenting ternyata juga belum menunjukkan prestasi yang gemilang, pasca terjadinya krisis moneter. Bisa dikatakan, kalau pertumbuhan pada sektor riil semakin buruk saja. Hal tersebut dikarenakan BI rate yang tinggi yaitu sebesar 12,75% (Andi Buchari, 2006) yang mengakibatkan suku bunga yang ditawarkan oleh bank umum terhadap kreditor menjadi lebih tinggi. Tentu saja hal ini membuat para investor enggan untuk berinvestasi dan lebih memilih untuk relokasi ke luar negeri. Alasan lain yaitu inflasi yang tinggi hingga 18% pada tahun 2005 yang menyebabkan ketidakpastian pendapatan akibat kesulitan dalam hal pemasaran karena harga yang mahal tidak ditunjang oleh purchasing power yang memadai dari masyarakat sedangkan biaya bunga tetap harus dibayar (dianggap sebagai fixed cost) tanpa melihat untung atau rugi.
Salah satu sektor riil yang memiliki prospek cukup bagus di tengah kondisi perekonomian yang tidak menentu pada saat ini adalah UKM atau usaha kecil menengah. Walaupun berskala kecil namun UKM terbukti mampu bertahan di tengah badai krisis moneter dibandingkan dengan BUMN dan BUMS. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya survei yang dilakukan oleh Akatiga dan Asia Foundation yang menunjukkan bahwa dari 320 UKM yang diteliti (pada saat krisis moneter), sebanyak 35% mengalami kenaikan kinerja, 12 % relatif stabil, dan 53 % omzetnya menurun tetapi tidak mengalami kebangkrutan usaha. Maka bisa disimpulkan bahwa keberadaan UKM di Indonesia sangat penting karena dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian negara dengan banyaknya tenaga kerja yang diserap oleh sektor tersebut. Atau dapat juga dikatakan bahwa UKM merupakan katalisator perekonomian karena dapat menyelesaikan masalah perekonomian yang sekarang melanda bangsa Indonesia, diantaranya: menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan.
Namun demikian keberadaan UKM di Indonesia tidak lepas dari berbagai masalah. Masalah terbesar yang dihadapi UKM dalam rangka mengembangkan usahanya adalah keterbatasan modal yang disebabkan oleh sulitnya mencari pinjaman atau kredit kepada lembaga keuangan formal atau perbankan. Dengan demikian, walupun prospek UKM di masa depan sebagai katalisator ekonomi cukup bagus namun jika tidak ditunjang dengan dukungan yang memadai dari sektor perbankan, maka UKM tidak akan bisa maju dan hanya bisa “berjalan di tempat”.
Selama ini pemberian dan penyaluran kedit dari lembaga keuangan formal yaitu bank komersial, baik bank syariah maupun bank konvensional pada sektor UKM dinilai masih belum berjalan secara efektif dan efisien. Hal tersebut dikarenakan adanya gap antara sektor keuangan formal dengan nasabah lapisan bawah yang biasa disebut pembiayaan retail, diantaranya adalah: minimnya jaminan (Bank terikat dengan ketentuan BI mengenai aspek collateral), tingginya biaya transaksi (terkait dengan sektor mikro yang sarat dengan asymetric information sehingga menghambat proses monitoring klien), dan hambatan sosial budaya (rendahnya tingkat pendidikan serta prosedur peminjaman yang dinilai merepotkan).
Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia yang membawahi semua kebijakan perbankan nasional mengeluarkan kebijakan dalam hal penataan perbankan nasional. Kebijakan tersebut bersifat jangka pendek dan jangka panjang.
Adapun kebijakan jangka pendek yaitu meliputi:
penyesuaian ketentuan peraturan BI no. 7 / 2 / PBI / 2005 tentang penilaian kualitas aktiva bank umum
penyesuaian kembali rasio Giro Wajib Minimum pada kuartal pertama pemberian izin kepada cabang konvensional yang memiliki unit usaha syariah untuk melayani transaksi syariah.
perluasan jaringan pelayanan perbankan bagi sektor UKM agar dapat menjangkau seluruh pelosok daerah.
Sedangkan kebijakan jangka panjang meliputi :
penguatan struktur permodalan dalam rangka mempercepat proses konsolidasi.
peningkatan peran bank asing dalam struktur perekonomian.
penguatan posisi dan arah kebijakan BI dalam menata hubungan bank di pasar keuangan.
penguatan manajemen internal perbankan.
perbaikan infrastruktur industri perbankan melalui penyempurnaan JPSK, pembentukan APEX bagi BPR.
Rencana tersebut mengarah pada perluasan cakupan wilayah yang mungkin digarap oleh sektor formal terutama pada kebijakan jangka pendek point 3 dan 4.
Program kredit pengembangan usaha kecil dari pemerintah selama ini masih didominasi oleh bank konvensional di mana operasionalnya terkait erat dengan sistem bunga yang diharamkan dalam ajaran Islam. Program kredit ini biasanya disalurkan sampai ke unit bank konvensional di pelosok tanah air yang terdiri dari desa-desa yang mayoritas penduduknya menganut ajaran Islam dan kebanyakan dari mereka masih memegang budaya Islam dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kondisi penduduk diwilayah tersebut memang tergolong sebagai ekonomi lapisan menengah ke bawah dengan mata pencaharian pokok di bidang agraris antara lain: petani, nelayan dan beternak. Sebagian lainnya merupakan pengrajin. Skala bisnis yang dikerjakan tergolong kecil dan kurang memberikan multiplier effect bagi lingkungan sekitarnya.
Kondisi tersebut tentu memprihatinkan bagi kalangan muslim sendiri, di mana keberadaan bank syariah ternyata belum mampu membebaskan umat islam dari belenggu riba dikarenakan terbatasnya pilihan bagi nasabah dalam mencari pinjaman serupa (kredit proyek pengembangan UKM). Di samping itu, nasabah masih menghadapi masalah pelik ketika ingin mendapatkan pembiayaan itu yang sampai saat ini masih dikuasai oleh bank umum (konvensional) unit mikro yaitu monopoli sumber dana oleh para kapitalis yang memburu program kredit dengan bunga yang lebih rendah (terkait dengan moral hazard perburuan rente) sehingga akses “si kecil’ terhadap sumber modal semakin sulit.
Peran bank syariah terhadap pengembangan sektor UKM yang “minim” tersebut tidak terlepas dari umur bank syariah itu sendiri yang masih tergolong “muda” jika dibandingkan dengan umur bank konvensional yang sudah menerapkan dan concern sebagai microfinance sejak lama. Namun ternyata disadari ataupun tidak, keberadaan bank syariah dalam kancah perekonomian nasional telah memberikan “nuansa baru” bagi iklim usaha di Indonesia.
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
Keberadaan bank syariah di Indonesia diawali dari lokakarya MUI mengenai perbankan tahun 1990. Kemudian diikuti penerbitan UU No 7/1992 tentang Perbankan yang mengakomodasi kegiatan bank dengan prinsip bagi hasil ( Arie Widiarto, 2002 ). Satu-satunya bank syariah yang ada pada waktu itu adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Dalam perkembangan selanjutnya undang-undang perbankan syariah diamandemen menjadi UU no.10 tahun 1998.
Jumlah bank tumbuh pesat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun 1998 menjadi 2 bank umum syariah, 3 unit usaha syariah (UUS), dan 81 BPR syariah pada akhir 2001. Jumlah kantor cabang bank umum syariah tumbuh dari 26 menjadi 51. Pada akhir tahun 2005, jumlah bank syariah (kantor pusat, UUS, dan kantot cabangnya) mencapai 422 ditambah dengan 92 BPR syariah yang sudah beroperasi.
Sistem Keuangan Islam
Sektor keuangan dalam Islam pada hakekatnya merupakan sektor yang berkaitan dengan arus uang, dinamakan aktifitas utamanya adalah investasi. Sehingga sektor keuangan ini tentu kuat hubungannya dengan sektor riil, karena aktifitas investasinya adalah aktifitas produktif sektor riil. Dengan demikian tidak ada dikotomi sejajar antara riil dan moneter, jadi boleg dikatakan corak ekonomi islam sebenarnya adalah aktifitas riil. Eksistensi lembaga keuangan Islam dimaksudkan untuk memperlancar aktifitas ekonomi dengan mempertemukan kelompok defisit dengan kelompok surplus, menggunakan kontrak investasi atau jual beli melalui mekanisme utamanya yaitu bagi hasil (profit-loss sharing). Sektor keuangan dalam Islam tidak memperbolehkan aktifitas keuangan menggunakan bunga, aktifitas spekulasi dan lain-lain yang sifatnya diharamkan oleh syariah Islam. Instrumen yang dapat digunakan sama dengan aktifitas pada riil yaitu mudhrabah, musyarakah, murabahah, ijarah, istisna, salam, rahn dan lain-lain (Ali Sakti 2008).
Kegiatan Usaha Bank Syariah
Kegiatan-kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank syariah atau bank umum yang menerapkan prinsip syariah di Indonesia menurut pasal 28 SK DIR BI 32/34/1999 adalah sebagai berikut :
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi:
Ø giro berdasarkan prinsip wadiah
Ø tabungan berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah
Ø deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, atau
Ø bentuk lain berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah
melakukan penyaluran dana melalui :
Ø transaksi jual beli berdasarkan prinsip murabahah, istishna, ijarah, salam, jual beli lainnya
Ø pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah, musyarakah, bagi hasil lainnya
Ø pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip hiwalah, rahn, qard
membeli, menjual, dan atau menjamin atas risiko sendiri surat-surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip jual beli atau hiwalah.
membeli surat-surat berharga pPemerintah atau Bank Indonesia yang diterbitkan berdasarkan prinsip-prinsip syariah
memindahkan uang untuk kepentingan sendiri atau nasabah berdasarkan prinsip wakalah.
menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip wakalah.
menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah.
melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah.
melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lain dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek berdasarkan prinsip ujrah.
memberikan fasilitas letter of credit berdasarkan prinsip wakalah, murabahah, mudharabah, musyarakah, dan wadi’ah, serta memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip kafalah.
melakukan kegiatan usaha kartu debit berdasarkan prinsip ujrah.
melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan prinsip wakalah
melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang disetujui oleh Dewan Pengawas Syariah.
Selain dapat melakukan kegiatan seperti di atas bank syariah juga dapat melakukan kegiatan sebagai berikut :
melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan prinsip sharf
melakukan kegiatan penyertaan modal berdasarkan prinsip musyarakah dan atau mudharabah pada bank atau perusahaan lain yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip musyarakah dan atau mudharabah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya
bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun bedasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku
bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerima dana zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan (qard ul hasan)
Konsep dan Definisi UKM
Dalam makalah Widjayanto, 2005 disebutkan definisi-definisi usaha kecil menurut berbagai sumber:
1. BPS mendefinisikan usaha kecil dengan jumlah tenaga kerja 5-19 orang
2. UU usaha kecil no. 9 Tahun 1995 mendefinisikan sebagai usaha dengan omset kurang dari 1 milyar per tahun, memiliki aset tetap tidak termasuk tanah dan bangunan kurang dari 200 juta
3. Berdasarkan definisi yang digunakan BI mengenai kredit usaha kecil ( Rp 50 juta- Rp 500 juta ) lebih dari 70% memiliki pinjaman sebesar 50 juta atau kurang.
Masih dari makalah Widjayanto,2005. Penelitian JBIC ( Japan Bank ), DAI (USA ), REDI ( Surabaya ) di Jawa Timur per Juni 2004 mengungkapkan bahwa masih ada ruang peningkatan pelayanan perbankan dalam skala usaha kecil, peminjam memanfaatkan pinjaman dari:
· BRI 47% ( rata- rata plafond Rp 33 juta )
· Koperasi 12% ( rata- rata plafond Rp 11 juta )
· BPR/S 10% ( rata-rata plafond 8 juta )
Kredit Program Usaha Kecil
Istilah kredit dalam perbankan konvensional lebih dikenal dengan istilah pembiayaan dalam perbankan syariah. Menurut Antonio (2001), pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya pembiayaan dibagi menjadi dua hal, yaitu :
pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas untuk peningkatan usaha baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Dari uraian di atas kredit program dapat diklasifikasikan sebagai pembiayaan produktif yang spesifik kepada pembiayaan modal kerja. Kredit program sendiri merupakan proyek pembiayaan untuk meningkatkan modal bagi usaha kecil agar mampu bertahan dan mengembangkan usaha. Oleh karena tujuannya spesifik, maka hanya skala usaha kecil yang dapat mengakses kredit program ini.
Lembaaga Keuangan Mikro
Fokus pembiayaan pada lembaga keuangan mikro ditujukan pada pengusaha kecil dan menengah sebagai unit defisit dalam hal permodalan.
Menurut Soetrisno, LKM di Indonesia bisa dibagi menjadi 2 kelompok besar yakni:
Bank Umum dan BPR/ Syariah
Fungsi bank umum sebagai LKM adalah dengan membentuk unit mikro yang beroperasi sampai ke pelosok tanah air, contohnya: BRI-unit.
Koperasi
LKM yang berbentuk koperasi simpan pinjam ( KSP ) atau koperasi lainnya termasuk di dalamnya BMT.
Aspek Jaringan dan Modal Bank Sayariah
Pertumbuhan bank syariah dari tahun ke tahun menunjukkan indikasi yang baik bagi perkembangan bank syariah nasional karena fungsi bank sebagai penyedia jasa perbankan sangat dipengaruhi oleh jaringannya. Semakin banyak bank yang beroperasi dengan prinsip syariah, semakin banyak pilihan untuk mecukupi likuiditas karena mismatch manajemen.
Sebagai lembaga intermediasi, bank dinilai sehat apabila memenuhi kaidah kecukupan modal (capital), aset (asset), manajemen (management), keuntungan (earning), dan likuiditas (liquidity). Kelima kaidah tersebut biasa disebut dengan istilah CAMEL. Dari kelima kaidah tersebut, bank syariah mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan LKM yang lain. DPK bank syariah yang terus mengalami trend kenaikan (menunjukkan kebutuhan pasar akan institusi syariah), harus diikuti dengan kenaikan pembiayaan juga karena karakteristik bank syariah yang sangat terkait dengan sektor riil. Dana yang tidak tersalurkan, akan menjadi iddle yang akan berimbas pada porsi bagi hasil yang lebih rendah pada sahibul maal karena ada dana yang tidak termanfaatkan untuk usaha yang berpotensi menghasilkan keuntungan.
Di samping itu adanya bank syariah BI dengan perannya sebagai lender of the last resort sangat berperan dalam mengurangi resiko likuiditas yang mungkin dihadapi oleh bank syariah dalam operasinya.
Aspek Legalitas Perbankan Syariah
Selain pertimbangan syariah (pilihan atas halal dan haram) nasabah juga mempertimbangkan aspek legalitas dari sebuah lembaga keuangan syariah. Tentu saja masyarakat tidak mau mengulang pengalaman pahit krisis perbankan di tahun 1997-1998 di mana masyarakat berbondong-bondong untuk menarik dana yang ada di bank karena ketidakpercayaan masyarakat atas keamanan dana tersebut. Selanjutnya uang kartal yang dipegang masyarakat melonjak tajam dari Rp. 24,9 trilyun pada akhir oktober 1997 menjadi Rp. 37,5 trilyun pada akhir januari 1998 dan puncaknya pada bulan Juni 1998 mencapai Rp. 45,4 trilyun. Implikasinya inflasi melonjak tajam dan nilai tukar rupiah terhadap dolar menembus angka nominal Rp. 16.000 pada tanggal 22 januari 1998.
Dampak buruknya sektor riil mengalami keterpurukan. Pengangguran meningkat karena banyak usaha yang gulung tikar karena tidak mampu menghadapi kondisi tersebut.
Krisis perekonomian Indonesia telah membuka wacana baru akan ketahanan bank Syariah dalam menghadapi keadaan tersebut. Kondisi ini mendorong perubahan atas UU No 7 Th 1992 pada UU No 10 Th 1998.. Undang-undang ini kemudian diikuti dengan terbitnya sejumlah ketentuan lain diantaranya :
Ø SK Gubernur BI / peraturan Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan lebih luas bagi pengembangan perbankan syariah di tanah air.
Ø UU No.23 tahun 1999 menugaskan Bank Indonesia untuk menyiapkan perangkat kegiatan dan fasilitas penunjang lainnya yang mendukung operasional Bank Syariah. (Republika Online)
mencapai keuntungan masing-masing. Bank menetapkan bunga yang sekecil mungkin untuk deposan dan sebesar mungkin untuk debitor.
Tingkat Kestabilan Bank Syariah
Pada saat kondisi ekonomi yang tidak menentu , inflasi misalnya, bank konvensional tidak bisa menghindar dari tingkat bunga tinggi yang mengakibatkan bank mengalami negative spread atau membayar bunga deposito lebih tinggi daripada penerimaan bunga kredit. Berlawanan dengan itu, bank syariah tidak begitu terpengaruh dengan adanya kondisi perekonomian yang buruk karena bank syariah tidak memakai sistem bunga sehingga tidak sampai menggalami negative spread.
Hubungan Sektor Riil dengan Sistem Perbankan Islam
Karena bank syariah menerapkan sistem bagi hasil bukan bunga maka prinsip yang digunakan adalah prinsip keadilan untuk menuju perekonomian yang stabil serta sehat. Adapun kontribusi yang diberikan oleh bank syariah kepada perekonomian nasional sesuai dengan prinsip tersebut di atas adalah bahwa keberadaan bank syariah akan meningkatkan sektor riil di Indonesia. Hal tersebut karena bank syariah dalam menjalankan kegiatannya terutama dalam menyalurkan pembiayaan benar-benar berdasarkan kegiatan nyata /riil sehingga hasil yang didapatkan bukan hasil spekulasi seperti yang terdapat pada bank konvensional. Sehingga hasil yang dicapai yaitu pertumbuhan ekonomi benar-benar mencerminkan kondisi sektor riil.
Sektor riil sedang mengalami proses kehancuran. Kalau dikaji secara ilmiah mengapa sektor riil ”seperti telur di ujung tanduk” adalah karena suku bunga yang ditetapkan oleh bank konvensional untuk pembiayaan sangat tinggi. Dan kemudian timbul pertanyaan berikutnya yaitu mengapa bank konvensional menetapkan bunga yang tinggi, hal tersebut karena bank konvensional menetapkan prinsip profit oriented yang disebabkan bank harus menanggung bunga yang dibayarkan kepada deposan dengan bunga yang relatif tinggi juga dengan asumsi bank harus selalu dalam keadaan untung agar tidak terjadi negative spread.
Bisa dibayangkan tentu bahwa dengan alasan-alasan di atas dapat diketahui bahwa dalam prakteknya bank konvensional hanya memikirkan kepentingan institusinya saja agar tidak mengalami kerugian atau negative spread. Bank konvensional tidak mempedulikan kelangsungan hidup para kreditor, sehingga kreditorpun tidak fokus dalam mengembangkan usahanya yang paling diutamakan adalah ketepatan dan kemampuan dalam membayar cicilan utang kepada bank konvensional. Dan pada akhirnya sektor riil pun tidak bisa berjalan dengan baik.
Dari paparan di atas bisa disimpulkan bahwa keberadaan bank syariah memang sangat diperlukan dalam kondisi ini terutama untuk membantu mengatasi keterpurukan yang dihadapi oleh sektor riil dalam hal ini UKM dalam bidang permodalan.
Peran strategis bank syariah dalam pembiayaan proyek UKM
Sesuai dengan fokus pengembangan perbankan syariah nasional pada fase kedua yaitu meningkatkan kompetensi skill , profesional lembaga dan pelaku perbankan syariah, serta meningkatkan fungsi intermediasi, efisiensi, dan daya saing industri perbankan syariah, maka diperlukan adanya kesiapan menyongsong pasar retail yang masih terbuka peluangnya. Pertanyaannya, haruskah bank syariah terjun langsung dalam mengakomodasikan proyek pembiayaan itu pada sektor itu? Sementara bank Indonesia yang berstatus sebagai otoritas moneter menetapkan prosedur agunan yang selama ini masih menyulitkan UKM untuk masuk dalam LKM formal. Dengan melihat trend pasar yang menjanjikan serta kebijakan BI, bank Syariah sebenarnya bisa memasuki pasar UKM ini secara langsung di samping juga tetap mengakomodasi kelas lower dengan program linkage. Sedangkan masalah kesulitan agunan bisa disiasati dengan mengembangkan social capital dengan memberdayakan kelompok usaha, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSP) sehingga berlaku tanggung jawab renteng dengan double pressure yaitu pada bank dan pada kelompoknya.
Oleh karena itu perlu adanya lembaga intermediasi syariah dengan kekuatan yang sama yang masuk dalam sektor UKM ini untuk melindungi kepentingan pengusaha kecil dari praktek-praktek perbankan yang tidak fair dan tentunya memenuhi prinsip syaiah.
Program kredit / pembiayaan proyek untuk kegiatan produktif memang seharusnya mencapai sasaran yaitu meningkatkan volume produksi yang akan meningkatkan produktivitas di sektor riil sehingga menghasilkan multiplier effect (permintaan tenaga kerja maupun usaha ikutannya) bagi lingkungan sekitarnya dan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi.
Oleh karenanya diperlukan integrasi program kredit yang tidak lagi bertumpu pada satu lembaga saja.
Analisis Hambatan
Walaupun bank syariah memiliki berbagai macam kelebihan dan keunggulan dalam menggerakkan laju perekonomian yaitu sektor UKM, namun perlu diketahui bahwa pengaruh bank syariah terhadap pertumbuhan perekonomian nasional hanya 0,23% atau kurang dari 1%. Menurut analisa dari bank Indonesia bahwa bank syariah baru akan bisa memperngaruhi perekonomian nasional bahkan bisa mempengaruhi inflasi jika peran bank syariah dalam pertumbuhan perekonomian nasional bekisar antara 10%-20%.
Sedangkan dalam sektor UKM (yang merupakan stimulator perekonomian) peran bank syariah saat ini juga dinilai belum maksimal. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa saat ini penyaluran pembiayaan pada sektor UKM masih didominasi oleh bank konvensional.
Adapun alasan-alasan yang menghambat bank syariah dalam mengoptimalkan perannya pada sektor UKM adalah sebagai berikut :
Ketersediaan sumber daya insani yang memahami aspek fikih sekaligus aspek finansial di Indonesia masih sangat terbatas (SDM yang kurang berkualitas),
Sosialisasi tentang bank syariah yang kurang terutama kepada masyarakat lapisan bawah sebagai pemegang peranan penting sektor UKM
Kurang aktifnya bank syariah dalam pembiayaan,
Kecanggihan teknologi informasi yang masih ketinggalan jika dibandingkan dengan bank konvensional
kebijakan pemerintah terhadap perkembangan bank syariah dinilai lamban karena pemerintahan sendiri masih berpihak pada perbankan konvensional dengan alasan eksistensi bank konvensional selama ini berpengaruh pada perekonomian nasional serta kurangnya pengetahuan pemerintah tentang bank syariah sendiri
adanya asymetris information atau informasi satu arah antara bank syariah dengan nasabah sehingga tidak ada sinkronisasi dalam menjalankan aktivitasnya
adanya penyelewengan tugas oleh pihak bank syariah itu sendiri dikarenakan sumber daya manusia yang diberdayakan dalam bank syariah tersebut berasal dari bank konvensional atau karena pengetahuan yang dimiliki hanya terbatas pada itu-itu saja
peran bank syariah sebagi mitra kerja sektor UKM yang dinilai belum tuntas artinya bank syariah hanya membantu dalam hal pembiayaan dana saja tetapi tidak turut serta membantu untuk memajukan UKM dalam meningkatkan pendapatannya.
jumlah bank syariah yang belum sampai ke pelosok-pelosok desa merupakan hambatan yang cukup berarti karena sebagian besar sektor UKM berlokasi di wilayah pedesaan.
Hambatan-hambatan seperti yang telah disebutkan di atas itulah yang menyebabkan perkembangan bank syariah terhambat walaupun secara teoritis bank syariah memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) dalam perekonomian nasional. Oleh sebab itu, diperlukan adanya kerjasama antara pemerintah sebagai penentu kebijakan, bank syariah , serta masyarakat. Dengan begitu bank syariah akan mampu bersaing dengan bank konvensional serta pada akhirnya akan benar-benar mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional melalui pertumbuhan sektor riil.
Kesimpulan
Bank Syariah mempunyai keunggulan-keunggulan untuk masuk dalam sektor mikro (usaha kecil) yang selama ini hanya dikelola oleh bank yang masih berbasis bunga. Karakteristik Bank Syariah yang senantiasa dekat dengan sektor riil strategis dengan upaya pengembangan usaha kecil melalui kredit program ditambah lagi dengan faktor-faktor pendukung ( instrumen dalam bank syariah, contohnya tingginya FDR, rendahnya NPL, serta faktor pendukung yang lain ) maka bank syariah berpotensi besar memasuki wilayah mikro sesuai dengan rencana kebijakan BI sebagai Bamk Sentaral Indonesia.

Daftar Pustaka

Ali Sakti, (2008), Islamic Economics, (Makalah dalam Studi Intensif Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah Prodi Muamalah (Ekonomi Islam) STAIN Batusangkar Sumatera Barat).
Andi Buchari, (2006), Bank Syariah Takterpengaruh Patokan BI dalam Tempo Interaktif, Jakarta
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2005. Peran Bank Indonesia Dalam Percepatan Pengembangan Bisnis Syariah di Indonesia. Makalah Di sajikan dalam Kuliah Informal Ekonomi Islam BREVITIES. CIES, Malang 10 Desember 2005.
Riawan Amin, (2003), Peluang Investasi Berbasis Syariah, Jakarta

Salam, Abdul (2005). Berebut Pasar Kredit Mikro : Perlukah Pembatasan. Http:// http://www.pnm.com/. Diakses tanggal 12 Januari 2006.
Sjahdeini, Sutan Remy, 1999. Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta : Grafiti.
Soetrisno, Noer. (tanpa tahun). Lembaga Keuangan Mikro: Energi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat ?
Syafii antonio, Muhammad.2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik.
Jakarta:Gema Insani
Widjayanto, Tri Hari.2005. Peran BPR Syariah Dalam Peningkatan Kesejahteraan UKM. Makalah Disajikan dalam Seminar Temu Ilmiah Regional FoSSEI Jawa Timur, Jombang 15 Januari 2005

Tidak ada komentar: