Minggu, 22 Februari 2009

Menarik Benang Merah dari Praktek Grameen Bank

Grameen bank atau juga dikenal dengan nama Bank Kaum Miskin sejak awal didirikan tidak pernah menyandang nama syariah, Islam atau apapun juga yang berbau agama. Namun dalam perjalanannya bank yang didirikan oleh Muhammad Yunus ini menebarkan banyak sekali nilai-nilai kemanusiaan.
Penghapusan kemiskinan, penyediaan pendidikan, layanan kesehatan, kesempatan kerja bagi kaum miskin, kesetaraan jender melalui pemberdayaan perempuan serta memastikan kesejahteraan manula, semua merupakan tujuan-tujuan sosial yang menjadi komitmen Grameen Bank. Grameen menentang kerangka kelembagaan yang ada sekarang, Grameen menentang perekonomian yang didasarkan pada ketamakan bisnis, Gramen ingin menciptakan perusahaan-perusahaan yang sadar sosial untuk menyaingi perusahaan-perusahaan yang tamak.
Grameen bukanlah bank non riba, Grameen bank menyalurkan tiga jenis kredit dan membebani masing-masing kredit tersebut dengan tingkat bunga berbeda:
1) kredit mata pencarian dengan suku bunga 20 persen,
2) kredit perumahan dengan suku bunga 8 persen dan
3) kredit pendidikan tinggi anak-anak keluarga Grameen dengan suku bunga 5 persen.
Seluruh bunga adalah bunga tunggal yang dikalkulasi berdasarkan metode declining balance. Terkait dengan pendidikan, Grameen bank meyakini bahwa pendidikan adalah salah satu unsur utama untuk keluar dari kemiskinan.
Setiap tahun Grameen memberikan beasiswa kepada 30.000 siswa. Tidak ada istilah mudharabah, musyarakah ataupun murabahah dalam konsep Grameen Bank. Setiap tahun sejak resmi berdiri tahun 1983 Grameen Bank selalu mencetak laba kecuali pada tahun 1983, 1991 dan 1992. Tahun 1983 adalah tahun berdirinya, sedangkan tahun 1991 dan 1992 merupakan tahun rehabilitasi bagi semua nasabah setelah badai siklon dahsyat melanda Bangladesh di bulan April 1991.
Sejak berdiri Grameen Bank telah menyalurkan pinjaman mencapai US $ 6 milyar dengan tingkat pengembalian sebesar 99 persen ( Yunus, 2007, hal 259). Lantas apa menariknya? Di mana letak benang merahnya dengan prinsip syariah? Banyak bank-bank lain mencapai prestasi yang sama bahkan lebih dari Grameen Bank, dan jelas Grameen Bank bukan bank syariah karena menerapkan bunga pada nasabahnya.
Yang menarik dalam hal ini adalah karena dengan jumlah nasabah mencapai 7 juta orang, 95 persennya adalah kaum perempuan sangat miskin yang dalam dunia perbankan modern sangat tidak layak untuk diberi kredit.
Tidak ada satupun bank di dunia ini yang mau memberikan pinjaman dengan atau tanpa bunga pada orang yang tidak punya 5C. Tidak ada satupun bank di dunia ini yang mau dengan susah payah mencari nasabah para orang miskin yang sudah terbelit hutang dengan rentenir dan menawari mereka pinjaman tanpa agunan apapun dengan tujuan agar hidup mereka terbebas dari kemiskinan, memperoleh penghasilan yang layak dan bisa menyekolahkan anak-anak mereka. Belum ada dalam sejarah perbankan dunia, suatu bank yang 95 persen nasabahnya berasal dari orang miskin bisa menguasai 93 persen total ekuitas bank, yang 9 dari 13 anggota Dewan Komisarisnya adalah para perwakilan peminjam.
Grameen bank bukan yayasan sosial karena bank ini tetap mengenakan bunga bahkan pada orang miskin sekalipun, tapi Grameen bank adalah bank yang sarat dengan tujuan sosial. Kredit seperti dikatakan Yunus (2007, hal 248) lebih dari sekedar bisnis, layaknya pangan, kredit adalah hak asasi manusia. Karenanya menolak memberikan kredit dengan alasan tidak bankable merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Dengan alasan ini, Yunus mengajukan dua perubahan terhadap ciri dasar kapitalisme yang telah menyebabkan kekayaan hanya menumpuk pada segelintir pengusaha yang bankable. Perubahan pertama yang diajukan Yunus terkait dengan pandangan yang berlebihan dari seorang pengusaha kapitalis. Menurutnya seorang pengusaha bukanlah orang yang punya bakat khusus, semua manusia adalah pengusaha potensial. Sebagian kita menurut Yunus memperoleh peluang untuk menunjukkan bakat ini, tetapi kebanyakan kita tidak pernah memperoleh kesempatan. Perubahan kedua terkait dengan bagaimana seorang pengusaha membuat keputusan investasi. Teori ekonomi menggambarkan pengusaha hanya sebagai orang yang memaksimalkan laba.
Di beberapa Negara di Amerika Undang-undang korporasinya bahkan mewajibkan maksimalisasi laba. Pemegang saham bisa menuntut eksekutif atau dewan direktur yang menggunakan dana perusahaan untuk kepentingan masyarakat secara umum daripada untuk maksimalisasi laba pemegang saham. Sebagai akibatnya dimensi sosial dalam pemikiran pengusaha diabaikan sepenuhnya.
Menurut Yunus jika kita tidak menyisakan ruang bagi nilai-nilai sosial dalam kerangka teoritis kita, maka yang terjadi adalah kita akan mendorong manusia berperilaku tanpa menghargai nilai-nilai sosial. Karenanya Yunus mengusulkan mengganti prinsip sempit maksimalisasi laba dengan prinsip yang lebih luas bahwa seorang pengusaha harus memaksimalkan dua hal sekaligus, yaitu laba dan manfaat sosial. Apa yang diusulkan dan telah dijalankan Yunus ini menggambarkan dengan sangat tepat keseimbangan antara sifat egoistik dan altruistik yang harus ada dalam akuntansi syariah seperti pernah dibahas oleh Triyuwono (2006).
Grameen bank menunjukkan bahwa sifat egoistik dan altruistik yang dipadukan dengan sangat baik bisa menghasilkan suatu bisnis yang menguntungkan sekaligus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, mewujudkan keadilan ekonomi serta mendistribusikan kesejahteraan. Keberadaan perusahaan besar di Bangladesh seperti Grameen Check, Grameen Shamogree, GrameenPhone dan Grameen Telecom merupakan bukti nyata bahwa tujuan sosial bisa mengangkat harkat martabat manusia sekaligus mendatangkan profit dalam waktu yang bersamaan.
Namun demikian Yunus punya pemahaman sendiri mengenai sifat altruistik yang disebutnya sebagai perilaku yang digerakkan oleh tujuan sosial. Dalam pandangan Yunus perilaku ini tidak cukup dilakukan hanya dengan bantuan amal atau dalam dunia bisnis dikenal dengan charity. Bantuan amal menurut Yunus hanyalah cara untuk melepas tanggungjawab. Bantuan amal hanya mengekalkan kemiskinan dan bukan merupakan solusi terhadap kemiskinan. Bantuan amal seringkali digunakan karena kita enggan mengakui pokok masalah dan menemukan solusi. Bantuan amal lebih lanjut dikatakan Yunus hanya menyenangkan hati kecil kita saja.
Permasalahan sebenarnya menurut Yunus adalah memberi kesempatan yang sama bagi setiap manusia, kesempatan dalam hal ini adalah kesempatan untuk mendapatkan pinjaman agar mereka dapat berusaha dan meneruskan hidup secara layak yang bebas dari kemiskinan, penderitaan dan kesengsaraan. Bukankah kemiskinan mendekatkan pada kekufuran. Ya..inilah antara lain salah satu nilai syariah yang bisa dipetik dari perjalanan Grameen bank.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa bank tanpa riba dalam hal ini bisa melakukan tujuan-tujuan sosial yang cukup spektakuler sehingga kita tidak perlu lagi bank syariah. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa sebuah bank yang selalunya identik dengan para pemilik modal yang haus kekayaan juga bisa berperan sebagai lembaga sosial pada saat yang bersamaan, Grameen bisa membuktikan bahwa maksimalisasi profit juga bisa dilakukan dengan maksimalisasi manfaat sosial. Saya juga hanya ingin menunjukkan bahwa sebetulnya banyak sekali peluang yang bisa dilakukan oleh bank syariah dalam upaya mencapai tujuan ekonomi Islam mewujudkan keadilan ekonomi, distribusi kekayaan dan kesejahteraan sosial.
Isu- isu seperti kesamaan kesempatan, kemiskinan, pendidikan dan lingkungan merupakan isu yang harusnya mendapat tempat lebih besar dalam aktivitas perbankan syariah daripada isu besarnya asset, banyaknya kantor cabang, tingginya profit, market share dan isu-isu yang jauh lebih menonjolkan materialisme semata.


Pertama kali melihat cover dari buku ini, orang akan segera mengetahui bahwa buku ini adalah buku mengenai konsep ekonomi yang diusung oleh seorang penerima Nobel Perdamaian 2006. Buku ini sebenarmya buku perancis dengan judul asli Ves Un Monde Sans Peuvrete terbit tahun 1997 dan baru diterkjemahkan ke bahasa Indonesia di tahun 2007.

Sepertiga bagian awal buku menceritakan tentang masa kecil penulis yang merupakan anak dari seorang perajin perhiasan dan bagaimana ia melewati masa kecil sampai masa mudanya dalam seluruh kegiatan yang cenderung mengarah pada peranan dalam dunia politik termasuk ketika ia aktif berpartisipasi dalam proses kemerdekaan Bangladesh. Kehidupan Muhammad yunus berubah ketika ia kenbali ke Bangladesh sebagai bentuk utang pada negaranya (hal 31). Di Bangladesh ia menjadi dekan dan mengajar di Universitas terkemuka di Chittagong. Akan tetapi ia sadar akan kemiskinan yang mendera desa di sekitarnya (Desa Jobra), sehingga ia ingin mengubah lingkar kemiskinan tersebut. Perjumpaannya dengan Sufia Begum, seorang perajin rotan-lah yang pada akhirnya mengubah jalan hidupnya untuk benar-benar mendedikasikan dirinya mengentaskan kemiskinan. Hal itu dilakukannya meskipun dengan konsekuensi ia harus mengundurkan diri dari pekerjaanya sebagai pengajar di Universitas untuk memasuki dunia baru yang penuh tantangan dan belum pernah ia kuasai sebelumnya. Ia memasuki ranah perekonomian mikro yang ia jalani bersama Grameen Bank dengan seluruh kegiatannnya.

Sebagian besar dari isi buku ini menceritakan perkembangan Grameen bank sekaligus menyisipkan penjelasan tentang konsep yang diangkat oleh institusi dan sang pendiri itu sendiri. Visi menghapuskan kemiskinan kaum perempuan di Bangladesh berikut perkembangannya yang mendunia juga dibahas oleh buku ini. Tak ketinggalan pula, penulis juga memberikan gambaran tentang hambatan-hambatan yang muncul baik dari ulama, birokrasi emerintah, bank komersial maupun institusi yang lebih besar seperti IMF atau Bank dunia sampai-sampai disebutkan sebagai mitra tanding daru Grameen Bank (hal 138). Tanpa maksud menggurui, Muhammad Yunus mencoba menjelaskan konsep yang diusungnya, proses penyaluran kredit mikro, staf-staf dalam organisasinya dan bagaimana pengelolaannya. Jenis usaha yang digeluti oleh Grameen Bank pun berkembang bukan hanya sebagai penyalur kredit nikro tetapi juga menjangkau kegiatan ekonomi lain.
Di akhir buku, penulis memberikan sentuhan akhir tentang visi masa depannya untuk menghilangkan kemiskinan di muka bumi lengkap dengan pidato penerimaan nobel dari Muhammad Yusuf. Dengan keseluruhan isi dan misi yang diembannya, maka buku ini layak dibaca bagi kalangan akademisi, ekonom dan kalangan pemerintahan untuk merumuskan kebijakan ekonomi yang juga tak jauh dari masalah kemiskinan.

Nah..itu tadi resensi buku tentang Grameen Bank.. menarik kan?? gak Cuma ‘mengupas’ isi buku, temen-temen yang hadir waktu resensi buku itu juga antusias bertanya, berkomentar dan mengkritisi konsep Grameen bank. Oia. si peresensi (mas PrenQi) juga mengutarakan kelemahan dari buku niy, seperti alur cerita yang campuran, kadang bisa bikin bingung si pembaca (sebagai pemula), teruzz belum ada kesan lain dari penerbit tentang kemungkinan penerapan Grameen Bank di Indoenesia..gitchu..

Hmm..jadi penasaran kan “gimana kalau Grameen Bank diterapkan di Indonesia?”,”kira-kira pihak mana aja yang perlu terlibat dalam konsep Grameen bank?”teruzzz “apa koperasi tuh bisa dikatakan sebagai Grameen bank-nya ala Indonesia???” wupzZ…(bisa dijadiin salah satu ide buat kompetisi )..seru kan guys!!pemikiran kritis mahasiswa atau event laen mungkin..hehe2,, Wah banyak banget deyh yang bisa kita kritisi dari penerapan Grameen Bank itu, bisa kita kritisi dari ‘culture’ nya (Bangadesh beda ma Indonesia) yang berkaitan ama sistem sosialnya,truz juga dari segi topografinya (populasi plus wilayah Indonesia yang bejibun jumlah penduduk miskinnya and luasnya). Nah..semakin penasaran??Baca bukunya, and kritisi konsepnya..siapa tau pemikiran Inget dunk..kita sebagai mahasiwa tuh harus bisakalian ntar bisa bermanfaat transfer ilmu bagi masyarakat, tuk bisa mencari solusi bagi permasalahn yang ada..So..who knows jika ilmu kalian, khusunya setelah baca niy buku “Bank Kaum Miskin” bisa sebagai alternative mengentaskan kemiskinan di Indonesia..Waow KerennnnnZzzz!!!!

1 komentar:

Linda Hevira Image mengatakan...

That's a good idea